Jabar

40 Triliun Perputaran Uang Selama Lebaran

Jum, 6 Mei 2022 | 21:30 WIB

40 Triliun Perputaran Uang Selama Lebaran

40 Triliun Perputaran Uang Selama Lebaran

Oleh Budhiana Kartawijaya

 

Mereka mencari rezeki di kota, membagikannya di desa. Ekonomi bawah pun merangkak naik.
Manusia berproduksi membentuk kekayaan, kemudian mendistribusikan sebagian hartanya ke kampung. Handai taulan pun mengonsumsinya.  


Media menyebutkan, dalam mudik kali ini uang 40 triliun merembes ke desa-desa. Bentuknya angpao, THR, uang bakti, zakat, infak, sedekah. Uang-uang itu dibelanjakan di warung tetangga, atau pasar lokal. Tukang kebun, tukang parkir, tukang cilok, tukang baso, janda tua, tak ada yang luput dari rezeki ini.


Mesin ekonomi terbawah pun berputar.


Idul Fitri menjadikan uang itu tidak beredar di kota-kota saja, tidak tertahan di segolongan kecil saja.


Manusia adalah makhluk ekonomi, dia makhluk yang hidup dalam siklus produksi-distribusi-konsumsi. 


Secara antropologi, setiap tahap siklus ini ada ritual, ada festival. Manusia purba memulai berburu (produksi) ke hutan, dengan mantera dan doa minta perlindungan kepada arwah penjaga hutan. Setelah dapat buruan, ada upacara membagi-bagikan daging buruan (distribusi), dan kemudian berkumpul bersama melakukan tarian dan festival kecil atau besar untuk menyantap bersama daging buruan (konsumsi).


Pada masyarakat tani, ada upacara sebelum tanam padi. Waktu mau panen ada upacara, dan setelah panen ada upacara. Pada nelayan juga begitu, sebelum melaut ada ritual baca mantera, pulang melaut ada ritual membagi ikan. Kemudian ada upacara kampung untuk pesta ikan bersama.


Pada masyarakat pemburu ada larangan berburu pada hari tertentu. Pada masyarakat tani ada larangan bertani pada hari atau bulan tertentu. Pada masyarakat nelayan ada minggu-minggu tertentu yang tidak boleh melaut. Ada ritualnya, kadang ada puasanya. Larangan-larangan ini berfungsi untuk menyembuhkan (healing) bumi sehabis diburu dan digarap. Burung, lebah, kupu-kupu, mikroba kemudian bertugas memulihkan bumi tanpa ada gangguan. Tanah pertanian punya kesempatan untuk pulih. Ikan dan udang punya kesempatan bertelur.


Begitu pula Idul Fitri, Idul Adha, aqiqah, puasa, zakat dan lain-lain adalah ritual, adalah festival. Hikmahnya: menyakralkan produksi, distribusi, dan konsumsi.


Apa jadinya jika manusia tidak punya festival?


Produksi akan jadi tidak sakral, tidak akan ada distribusi dan konsumsi masif. Ekonomi orang lemah tidak akan berjalan. Aset hanya beredar di kalangan tertentu. Kesenjangan akan melebar. Kehidupan sosial pun akan hancur.


Demikianlah Ramadhan dan Idul Fitri. Keduanya adalah dua festival besar yang memelihara keseimbangan sosial. 


Kita adalah manusia ritual, dan manusia festival. Kita harus menghormati festival dan ritual kelompok adat, agama, dan etnik yang berbeda-beda. Karena ritual dan festival adalah soal survival, soal kelanjutan manusia, alam dan kemakmuran: people-planet-prosperity.


Selamat menikmati kehangatan kopi pagi di kampung, sampai hari libur rampung.


Budhiana Kartawijaya, Penulis adalah wartawan senior dan pendiri Odesa Indonesia.