Jatim

Hukum Menghadiri Pernikahan Non-Muslim

Sen, 25 Juli 2022 | 06:40 WIB

Hukum Menghadiri Pernikahan Non-Muslim

Menghadiri pernikahan non-muslim diperbolehkan dengan beberapa ketentuan (Foto: NOJ/thebridedept)

Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang aktif berkomunikasi dan berinteraksi dengan lapisan masyarakat dari berbagai suku, agama dan budaya. Salah satu bentuk interaksi itu bisa ditemukan dalam perniagaan, pergaulan, pertemanan hingga pernikahan.


Tentu itu semua memiliki batasan agar tetap saling menghormati latarbelakang masing-masing. Lantas bagaimana jika ada non muslim mengundang temannya yang beragama Islam untuk menghadiri resepsinya? 


Dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8 disebutkan:


لَا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ


Artinya: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil


Berpijak dari ayat tersebut, mayoritas ulama memperbolehkan untuk berbuat dan bersikap baik kepada non-muslim, khususnya zimmi. Dalam kitab Hasyiyatul Jamal 4, 272-273 ditegaskan:


وَإِنَّمَا تَجِبُ الْإِجَابَةُ أَوْ تُسَنُّ  بِشُرُوطٍ مِنْهَا إسْلَامُ دَاعٍ وَمَدْعُوٍّ  فَيَنْتَفِي طَلَبُ الْإِجَابَةِ مَعَ الْكَافِرِ لِانْتِفَاءِ الْمَوَدَّةِ مَعَهُ نَعَمْ تُسَنُّ لِمُسْلِمٍ دَعَاهُ ذِمِّيٌّ لَكِنَّ سَنَّهَا لَهُ دُونَ سَنِّهَا لَهُ فِي دَعْوَةِ مُسْلِمٍ


Artinya: Kewajiban atau kesunahan menghadiri undangan itu ditentukan beberapa syarat. Di antaranya adalah pihak pengundang dan yang diundang sama-sama beragama Islam. Maka dari itu, tidak ada anjuran untuk menghadiri undangan non-muslim karena memang tidak ada ikatan kasih sayang dengan mereka. Iya, disunahkan bagi seorang muslim untuk menghadiri undangan non-muslim zimmi meskipun kesunahan tersebut tidak seperti ketika diundang oleh orang muslim.


Sedangkan dalam keterangan tafsir Nawawi 1, 94 diuraikan sebagai berikut:


واعلم أن كون المؤمن موالياً للكافر يحتمل ثلاثة أوجه أحدها : أن يكون راضياً بكفره ويتولاه لأجله ، وهذا ممنوع منه لأن كل من فعل ذلك كان مصوباً له في ذلك الدين ، وتصويب الكفر كفر والرضا بالكفر كفر ، فيستحيل أن يبقى مؤمناً مع كونه بهذه الصفة . وثانيها : المعاشرة الجميلة في الدنيا بحسب الظاهر ، وذلك غير ممنوع منه . والقسم الثالث : وهو كالمتوسط بين القسمين الأولين هو أن موالاة الكفار بمعنى الركون إليهم والمعونة ، والمظاهرة ، والنصرة إما بسبب القرابة ، أو بسبب المحبة مع اعتقاد أن دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر إلا أنه منهي عنه ، لأن الموالاة بهذا المعنى قد تجره إلى استحسان طريقته والرضا بدينه ، وذلك يخرجه عن الإسلام


Artinya: Ketahuilah bahwa orang mukmin menjalin sebuah ikatan dengan orang kafir itu seputar pada tiga hal; Pertama, ia rela atas kekufurannya dan menjalin ikatan karena kekufurannya. Hal ini dilarang karena membenarkan terhadap kekufuran merupakan bentuk kekufuran tersendiri. Maka mustahil seorang mukmin memiliki sifat demikian; Kedua, interaksi sosial dengan baik sebatas lahiriah dalam kehidupan dunia. Hal ini tidak dilarang; Ketiga, tolong-menolong yang disebabkan jalinan kekerabatan atau karena kesenangan, disertai sebuah keyakinan bahwa kekafirannya adalah agama yang tidak benar. Hal tersebut tidak menjerumuskan seorang mukmin pada kekafiran, akan tetapi ia tidak diperbolehkan (menjalin ikatan di atas). Sebab jalinan yang semacam ini terkadang memberi pengaruh untuk menjerumuskan menuju kekafiran dan rela terhadapnya. Dan faktor inilah yang dapat mengeluarkannya dari Islam.


Memang memenuhi undangan pernikahan mereka termasuk perbuatan baik. Ini merupakan bentuk memupuk kebaikan (mu’asyarah bil ma’ruf) yang tidak dilarang dalam Islam. Karena dengan menghadiri undangan mereka, sama halnya menunjukkan kepedulian dan menghargai undangan mereka. Bahkan dengan menunjukkan kebaikan ini sama halnya mencerminkan Islam agama yang ramah.


Dengan demikian bila disimpulkan hukum menghadiri pernikahan non-muslim itu: a) Boleh selama hanya memenuhi undangan karena sebatas lahiriah saja tanpa ada perasaan rela dan senang terhadap agamanya, b) Haram apabila kehadirannya disertai perasaan senang terhadap agamanya dan menyukai makanan maupun minumannya yang jelas terindikasi keharamannya.