Jatim

Hukum Niat Puasa Asyura di Pagi Hari

Sen, 1 Agustus 2022 | 09:10 WIB

Hukum Niat Puasa Asyura di Pagi Hari

Lupa niat puasa sunnah asyura di malam hari diperbolehkan untuk niat di pagi harinya dengan syarat belum makan minum (Foto:NOJ/rotanet)

Bulan Muharram adalah salah satu bulan mulia yang dianjurkan untuk diisi dengan berbagai kegiatan positif, menyantuni anak yatim, memperbanyak ibadah seperti puasa sunnah tasu’a dan asyura.


Keistimewaan puasa di bulan Muharram terekam dalam salah satu hadits yang bersumber dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:


أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ


Artinya: Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam. (HR. Muslim no. 1163).


Seperti yang telah diketahui bersama bahwa dalam ibadah puasa, malam hari hingga akan keluarnya fajar merupakan waktu niat puasa, sesuai dengan sabda Nabi:


مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ 


Artinya: Siapa saja yang tidak niat puasa sebelum keluarnya fajar, maka tak ada puasa baginya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) 


Lantas, bagaimana dengan orang yang lupa niat puasa asyura di malam hari dan niat di pagi hari?


Niat merupakan salah satu rukun puasa dan ibadah lain pada umumnya. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa segala sesuatu itu terletak pada niat. 


إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى


Artinya: Segala sesuatu itu terletak pada niatnya, dan tiap seseorang itu dinilai dari apa-apa yang dia niati.


Niat secara terminologi fikih Syafiiyah didefinisikan:


هي قصد الشيء مقترناً بفعله


Artinya: Yaitu berkeinginan untuk melakukan sesuatu disertai dengan perbuatan 


Dalam konteks puasa tasu‘a (9 Muharram) dan asyura (10 Muharram) yang notabene adalah puasa sunnah, diperbolehkan untuk niat puasa sunnah pagi hari, selama belum makan dan minum. Salah satu hadits no. 657 dari kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar menyebutkan:


عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ


Artinya: Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata, Nabi Muhammad pernah menemuiku pada suatu hari lantas, beliau berkata: Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?, Kami pun menjawab: Tidak ada. Rasulullah berkata: Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang. Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau: Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran samin dan tepung). Lantas beliau bersabda: Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa. Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim no. 1154).


Imam Nawawi mengatakan dalam Syarah Sahih Muslim: hadits ini adalah dalil bagi mayoritas ulama bahwa boleh niat puasa sunnah di siang hari selama belum waktu zawal (matahari bergeser ke barat).


Oleh karena itu, para ulama menganjurkan seseorang untuk melafalkan niatnya. Berikut ini contoh lafal niat puasa tasu‘a


نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَاسوعاء لله تعالى


Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatit Tasû‘â lillâhi ta‘âlâ. 


Artinya: Aku berniat puasa sunah Tasu‘a esok hari karena Allah SWT.


Sedangkan niat puasa sunah Asyura sebagai berikut.


نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ العاشوراء لله تعالى


Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatil âsyûrâ lillâhi ta‘âlâ.


Artinya: Aku berniat puasa sunah Asyura esok hari karena Allah SWT.

 

Dengan demikian, siapa saja yang mendadak di pagi hari ingin mengamalkan puasa sunnah tasu’a atau asyura, maka diperbolehkan berniat sejak ia berkehendak puasa sunah dengan catatan selama belum makan minum dan matahari belum tergelincir.