Kesehatan

Obat Pendarahan ala Sayidah Fatimah ra, Relawan Medis, pada Perang Uhud di Bulan Syawwal

Ahad, 8 Mei 2022 | 12:00 WIB

Obat Pendarahan ala Sayidah Fatimah ra, Relawan Medis, pada Perang Uhud di Bulan Syawwal

Salah satu perjuangan yang ditunjukkan oleh Sayidah Fatimah dan tercatat dengan baik adalah kemampuan beliau dalam mengobati orang lain. (Ilustrasi: mawdoo3.com)

Ketika kealiman seorang ahlul bait berpadu dengan kesalehan dan perjuangannya dalam menegakkan agama Allah, maka orang tersebut layak dianggap waliyullah. Putri Nabi, Sayidah Fatimah, adalah salah satu contoh orang yang menyandang keutamaan–keutamaan tersebut. Berbagai perjuangan dan kisah mulia Sayidah Fatimah menghiasi lembaran sejarah Islam sehingga patut menjadi teladan bagi umat ini. Tidak heran, dengan menyebut nama Beliau dan keutamaan amalnya yang mulia, Sayidah Fatimah menjadi wasilah yang dikenal umat Islam hingga kini.


Salah satu perjuangan yang ditunjukkan oleh Sayidah Fatimah dan tercatat dengan baik adalah kemampuan beliau dalam mengobati orang lain. Tidak tanggung-tanggung, yang diobati adalah ayahandanya sendiri, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Peristiwa perang Uhud menjadi saksi betapa putri Rasulullah ini menunjukkan kecemerlangannya dalam berjuang membela Islam sekaligus bersama suaminya, Sahabat Ali karramallahu wajhah, merawat luka Nabi saat itu.


Perang Uhud yang terjadi pada Bulan Syawwal tahun ketiga hijriah menyimpan memori yang luar biasa. Dalam kitab Fiqih Sirah, Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy mengisahkan:


“Nabi keluar bersama dengan seribu pasukannya dari Madinah menuju Uhud pada hari Sabtu tanggal 7 Syawwal, 32 bulan setelah hijrah. Setelah peperangan berkecamuk, kaum muslimin yang semula mendapatkan kemenangan mengalami serangan balik karena pasukan pemanah muslim turun dari bukit. Rasulullah pun tidak luput dari lemparan batu sehingga terluka parah pada bagian rahangnya. Sambil mengusap darah yang mengalir di wajahnya, Rasulullah bersabda:


Bagaimana mungkin suatu kaum mendapat kemenangan, sedangkan mereka mengalirkan darah di wajah Nabinya yang mengajak mereka kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Fiqih Sirah Nabawiyah, [Damaskus: Darul Fikr], 1991 M: 258)


Ketika Nabi terluka itulah, Sayidah Fatimah dengan cekatan berperan sebagai dokter di medan perang untuk merawat ayahnya. Ditemani dengan suaminya, Sahabat Ali bin Abu Thalib, Sayidah Fatimah membasuh luka Nabi dengan air yang dibawa oleh suaminya  itu.


“Fatimah kemudian datang membersihkan darah dari wajahnya, sedangkan Ali mencucinya dengan air. Setelah dilihat darah tetap mengucur, akhirnya Fatimah mengambil pelepah kering lalu dibakarnya sampai menjadi abu, kemudian abu itu diusapkannya ke tempat luka dan barulah darah berhenti mengalir.” (al-Buthi, 1991 M: 259).


Ada hal menarik yang terungkap dalam kisah di atas. Pelepah kering yang digunakan oleh Sayidah Fatimah untuk mengobati Nabi bukanlah pelepah biasa. Dalam riwayat yang lain, pelepah itu adalah pelepah pohon papirus yang sudah berwujud sebagai tikar. Tikar inilah yang dibakar dan abunya digunakan untuk mengobati luka Nabi. Pohon papirus sendiri banyak tumbuh di sekitar Sungai Nil.


Dalam Kitab Ar-Rahiiqul Makhtum, Syekh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri menceritakan:


“Sahl berkata, Demi Allah, aku benar-benar tahu siapa yang membasuh luka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, siapa yang menuangkan air dan dengan apa mengobati. Fatimah, putri Beliau yang membasuh dan Ali bin Abu Thalib yang menuangkan air. Tatkala Fatimah melihat bahwa basuhan air itu justru membuat darah Beliau semakin mengalir banyak, maka dia menyobek sepotong tikar lalu membakarnya dan menempelkannya di luka Beliau, hingga darahnya berhenti.” (Syekh Shafiyurrahmman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiiqul Makhtum, Dar Ihyait Turats, 1976: 252)


Pengetahuan tentang pengobatan dengan papirus untuk penyembuhan luka juga dibahas dalam kitab Thibbun Nabawi. Al-Hafiz Adz-Dzahabi menyebutkan:


“Papirus bersifat dingin. Ia menghentikan pendarahan yang deras pada luka.Ibnu Sina mengatakan, papirus baik untuk kudis dan bisa menyembuhkan luka. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ketika salah satu gigi Rasulullah SAW patah, putrinya Fatimah lalu mencari sesobek tikar. Sobekan tikar itu lalu dibakarnya hingga menjadi abu. Abu itu kemudian dipercikkannya ke gusi Nabi SAW yang berdarah, dan pendarahan pun berhenti. Tikar yang dimaksud di sini adalah tikar dari papirus sebab abu bakaran tikar ini, jika kering, bisa menghentikan pendarahan luka.” (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihyaul Ulum: 1990 M], halaman 80)


Kemampuan Sayidah Fatimah mengenali tikar papirus sebagai bahan penyembuh luka berdarah merupakan bukti keterampilan medis dalam penanganan luka. Saat itu, tikar yang terbuat dari daun papirus fungsinya sebagai alas duduk. Namun, di Mesir dan sekitarnya (Ethiopia/Abysinia/Habasyah, Sudan), abu daun papirus sudah lama dikenal sebagai penyembuh luka. Bahkan di Mesir Kuno, metode penyembuhan luka dengan abu bakaran papirus telah dikenal sebagai kauterisasi herbal.


Kauterisasi merupakan teknik penyembuhan dengan mempergunakan cairan, getah, larutan, atau penggunaan bahan kimia untuk membakar jaringan pada bagian yang terinfeksi. Meskipun bersifat mendinginkan, penggunaan abu bakaran papirus juga dikelompokkan ke dalam kauterisasi herbal. Teknik pengobatan ini biasanya dilakukan oleh seorang yang terlatih. Namun, ketika praktik pengobatan ini dilakukan oleh Sayidah Fatimah maka menjadi pertanyaan besar dari mana Beliau memperoleh keahlian dan pengetahuan tentang pengobatan itu?


Luka baru yang dialami oleh Rasulullah SAW saat perang Uhud semula dibasuh dengan air oleh Sayidah Fatimah. Tindakan ini merupakan prinsip pencucian luka dan juga upaya penyembuhan karena luka berdarah memerlukan pendinginan. Setelah upaya pertama ini tidak membuahkan hasil, maka Sayidah Fatimah mengubah penanganan luka itu dengan metode pendinginan lainnya, yaitu dengan menggunakan abu bakaran tikar papirus.


Prinsip-prinsip penanganan luka dengan kaidah ilmu kedokteran yang dipraktikkan oleh Sayidah Fatimah mencerminkan kecerdasan Beliau. Saat masa kecilnya di Mekah, Sayidah Fatimah termasuk orang yang membersihkan tubuh Rasulullah ketika dilempari kotoran unta. Seiring dengan waktu dan sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan Islam, Sayidah Fatimah telah memberikan teladan mulia untuk mengobati orang tuanya di kancah peperangan. 


Pertanyaan besar tentang dari mana Sayidah Fatimah memperoleh dasar-dasar ilmu kedokteran sehingga mampu mengobati Rasulullah mungkin tidak pernah akan terjawab. Namun, dengan terjunnya Sayidah Fatimah sebagai dokter perang membuat umat Islam perlu untuk menyadari bahwa perjuangan militer membutuhkan dukungan ilmu pengetahuan lain. Sudah selayaknya umat Islam mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk mendukung dan melindungi dakwah Islam saat ini dan di masa yang akan datang.


Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti di bidang farmasi.