Lampung

KH Fadlil Amin, Penerima Mandat Mendirikan NU di Lampung

Sen, 11 April 2022 | 09:00 WIB

KH Fadlil Amin, Penerima Mandat Mendirikan NU di Lampung

KH Fadlil Aminudin, penerima mandat mendirikan NU di Lampung

Tak banyak yang tahu, siapa sosok Kiai Fadlil Aminudin (1900—1994), meskipun perannya sangat besar dalam merintis berdirinya organisasi NU di Lampung.  Dialah yang mendapat “mandat” dari Hadratus Syeikh KH Hasyim Asyari, dalam mendirikan NU di Lampung.

 

Fadlil adalah anak sulung KH Aminudin, seorang tokoh masyarakat yang juga tokoh agama di Dusun Ulu Danau, Pulau Beringin, Sumatera Selatan. Pada usia 16 tahun, tepatnya pada pertengahan tahun 1916, Fadlil ikut orang tuanya menunaikan ibadah haji di Makkah. 

 

Namun sesampai di sana, Fadlil memutuskan tetap tinggal di tanah Haramain, untuk memperdalam ilmu agama, yang merupakan keinginannya sejak lama. Dengan berat hati, kedua orang tuanya meninggalkan Fadlil muda yang tekadnya tak terbendung. 

 

Tak sulit bagi Fadlil dalam menuntut ilmu di negeri orang. Modal yang ditanamkan orang tuanya selama di kampung plus kecerdasan yang dimilikinya, membuatnya tak sulit menyerap ilmu. Selama di Makkah, Fadlil tinggal di asrama bersama orang-orang yang berasal dari Sumatera, tak jauh dari Masjidil Haram. Mereka mengaji berkelompok di area masjid. Pada masa itu memperdalam ilmu agama di Makkah sudah menjadi tradisi para ulama, khususnya yang berasal dari Pulau Jawa.

 

Selama sembilan tahun di perantauan, banyak guru  yang didatangi oleh Fadlil Amin, baik di Makkah, Madinah, Mesir, maupun kawasan jazirah Arab lainnya. Di tempat-tempat tersebut, selain menuntut ilmu, Fadlil juga mengajar. Misalnya saat di Madinah, dia diminta untuk mengajar ilmu alat (tata bahasa Arab) untuk warga Indonesia yang baru datang. 

 

Sampai kemudian pada suatu hari di tahun 1925, Fadlil memutuskan untuk pulang ke tanah air. Tapi keinginannya saat itu bukan pulang kampung ke Ulu Danau, melainkan ingin nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng. Kerinduan dan kekaguman pada sosok Hadratus Syeikh Hasyim Asyari-lah yang menjadi kekuatan tekadnya untuk memperdalam ilmu agama di sana.

 

KH Hasyim Asyari adalah ulama masyhur yang pernah dijumpainya saat berada di Madinah. Fadlil mengagumi kedalaman ilmu dan kezuhudan Kiai Hasyim. Kondisi umat Islam di tanah air yang tengah masa penjajahan Belanda yang didengar dari Hadratus Syekh memantik semangat mudanya untuk berjuang.  

 

Kedatangan Fadlil Amin di Tebuireng disambut hangat oleh Kiai Hasyim Asyari dan para santrinya. Kiai Hasyim ternyata tak lupa padanya, seorang pemuda Indonesia yang begitu tampak kecerdasannya, dalam beberapa kali diskusi di Madinah. Terlebih lagi selama belajar di negeri Haramain, Fadlil sudah menyandang gelar sebagai guru. 

 

Fadlil pun menjadi salah satu murid kesayangan Hadratus Syeikh. Mereka kerap diskusi berdua, baik soal agama maupun soal penjajah Belanda yang terus mengancam kehidupan rakyat. Fadlil cepat akrab dengan keluarga sang kiai, terutama dengan putera sulungnya, Wahid Hasyim. Dia lalu mendapat kepercayaan untuk mengajar para santri tingkat menengah. 


Fadlil berada di Tebuireng selama lima tahun, yaitu tahun 1925 hingga 1930.  Dalam kurun itu, organisasi NU dirintis, didirikan, dan dikembangkan. Banyak pertemuan yang digelar para ulama. Sebagai seorang santri kesayangan, Fadlil banyak membantu dan melayani para ulama yang tengah berembug tersebut, hingga organisasi NU berdiri pada 31 Januari 1926.

 

Sampai kemudian pada tahun 1930, Fadlil merasa harus pulang ke kampung halaman dahulu, menengok keluarga yang sudah lama ditinggalkan. Beliau lalu minta izin pada sang maha guru. Fadlil meyakinkan kepulangannya hanya sementara, sekedar melepas rindu.

 

Hadratus Syekh  pun memberi izin, namun dengan satu pesan, agar Fadlil bisa sekalian mengembangkan jaringan NU di tanah kelahirannya. Dan tentu saja, kehadiran beliau kembali ke Tebuireng sangat dinanti. 

 

Menurut salah seorang anak Kiai Fadlil Amin, Fadjri, ayahnya mendapat “mandat” langsung dari Hadratus Syekh Hasyim Asyari, untuk mengembangkan jaringan NU di Sumatera, termasuk Lampung. Mandat yang disampaikan secara lisan, ketika Kiai Fadlil hendak menjenguk orang tuanya di kampung halaman. 

 

Perihal "mandat" ini diketahui Fadjri (yang memiliki nama lengkap Fadjri Fadlil Amin) karena sering diceritakan secara berulang-ulang oleh ayahnya kepada Fajdri, yang kerap mengikuti perjalanan dakwah dan bisnis sang kiai.

 

Tiba di kampung halaman, kedatangan Fadlil Amin sangat dielu-elukan keluarga besarnya. Kerinduan pada ulama muda itu membuat mereka berdatangan ke kediaman keluarga Aminudin, yang merupakan bangsawan (meraje) bagi suku Semendo. 

 

Kedua orang tuanya berharap, Fadlil tidak pergi lagi dan menetap di kampung halaman. Fadlil lantas menjadi guru mengaji, meneruskan tugas ayahnya. Sudah tersiar kabar, Kiai Fadlil bukan hanya telah menyelesaikan pendidikan di Makkah, tapi juga sudah mengajar di pondok pesantren Tebuireng yang pemiliknya adalah seorang ulama besar.

 

Sebagai keturunan meraje dan memiliki ilmu agama tinggi, tak sulit bagi Kiai Fadlil untuk berdakwah pada masyarakat sekitar. Penduduk ramai berdatangan ketika Fadlil mengisi pengajian dari rumah ke rumah. 

 

Kiai Fadlil memiliki ciri fisik yang menarik. Postur tubuhnya tinggi besar dan hidung bangir.  Ayahnya memang masih ada keturunan dari Persia. Suara Fadlil  besar. Bila sedang ceramah suaranya menggelegar penuh kharisma. 

 

Tentu saja, sebagai murid Hadratus Syekh, pengajian yang dikembangkan adalah menurut paham ahlussunnah wal jama'ah.  Hingga kemudian pengajian itu diberi nama “Nahdlatul Ulama”. Itulah pertama kali nama Nahdlatul Ulama diikrarkan di kawasan Sumatera Selatan, meskipun belum berbentuk organisasi.

 

Namun Fadlil tak bisa berlama-lama. Tiga tahun di kampung, dia ingin kembali lagi ke Tebuireng.

 

Dalam perjalanan ke Jawa itulah, dia memutuskan untuk mampir dahulu ke tempat seorang famili yang tinggal di Dusun Napal Belah, yang sekarang masuk Kecamatan  Bukit Kemuning, Lampung Utara. Niatnya adalah untuk bersilaturahim.  Keluarga yang dikunjungi itu adalah seorang petani lada yang berasal dari Ulu Danau.  

 

Beberapa hari di Napal Belah, Kiai Fadlil menuju Desa Tanjungraja, yang masih dalam kawasan Bukit Kemuning. Dia mendapat informasi dari keluarga yang di Napal Belah, kalau di Tanjungraja banyak sekali keluarga yang berasal dari Sumatera Selatan, khususnya warga Semendo. Para kerabat itu berkebun kopi dan menyebar di berbagai dusun. 

 

Di Tanjungraja, ternyata Fadlil kerasan. Kehadirannya mempesona banyak orang, sebagai seorang ulama yang berilmu tinggi dan supel dalam bergaul. Sebagai seorang keturunan meraje, dirinya bisa sedikit mengobati kerindungan warga Semendo yang sudah lama menjadi perantauan.

 

Mulailah Kiai Fadlil menggelar pengajian dari rumah ke rumah. Ternyata ceramahnya amat mengena di masyarakat. Kharisma dan kemampuannya bertutur membuat warga berduyun-duyun mendatangi pengajian. Warga yang datang bukan hanya dari Tanjungraja saja, tapi juga dari luar desa yang mendengar cerita dari mulut ke mulut. 

 

Masyarakat di sana seperti sudah lama merindukan ulama.  Hidupnya nuansa keagamaan di Tanjungraja membuat warga di sana bergotong royong membangun sebuah tempat mengaji untuk anak-anak. 

 

Jadilah Kiai Fadlil Amin mengajar di tempat itu sebagai guru yang pertama, di tempat yang kelak menjadi madrasah tersebut. Bangunan itu terdiri dari kayu persegi dengan dinding papan dan beratap seng. Muridnya adalah anak-anak warga Tanjungraja yang berusia 7-13 tahun.

 

Meski menjadi guru,  namun Kiai Fadlil tidak mematok diri hanya menyampaikan syiar Islam di Tanjungraja. Apalagi namanya sudah mulai dikenal masyarakat di luar. Dia banyak diundang untuk mengisi pengajian di daerah-daerah sekitar. Diantaranya ke Cahayanegeri, Pekurun, Oganlima, Ogantujuh, dan Talangparis. 

 

Untuk membantu mengajar di madrasah, Kiai Fadlil lalu mengajak seorang guru yang populer dengan nama Guru Islah. Dia adalah seorang guru mengaji yang berasal dari Menes, Banten. Guru Islah-lah yang belakangan banyak berperan di madrasah, ketika Fadlil Amin harus melanglang buana menyebarkan syiar Islam di luar Tanjungraja. Kiai Fadlil juga terlibat perang mengusir penjajah dengan menjadi Komandan  Pasukan Hizbullah Wilayah Barat, yang areanya meliputi Lampung Utara bagian barat. 

 

Dia pun menunda kepulangan ke Tebuireng, karena merasa, di tempat inilah dia harus menunaikan tugasnya untuk berdakwah. Dan tak kalah penting, adalah mendirikan jaringan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Fadlil menilai saatnya sudah tepat untuk mendirikan organisasi tersebut, meski sifatnya masih perintisan. Apalagi di Tanjungraja hubungan kekeluargaan dan keagamaannya amat kuat.

 

Ide itu lalu disampaikan pada tokoh masyarakat setempat, termasuk Pangeran Singgur selaku kepala desa. Kepada para tokoh tersebut Fadlil mengatakan, perlunya warga membentuk sebuah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang berhaluan Aswaja, sehingga tak semata-mata kelompok pengajian saja. Fadlil yang sempat lama menetap di Pesantren Tebuireng baik sebagai santri maupun sebagai pengajar secara gamblang menjelaskan maksud dan tujuan organisasi NU yang sudah berdiri sejak tahun 1926 tersebut. Gayung pun bersambut. Tokoh masyarakat di sana bisa menerima ide Fadlil.

 

Para ulama dan tokoh masyarakat setempat ditunjuk sebagai pengurus. Mereka adalah H Akib didaulat menjadi rais syuriyah, H Mat Thaib diangkat menjadi ketua tanfidziyah, H Abu Katsir menjadi sekretaris, dan H Abdul Hamid sebagai bendahara.  

 

Meski begitu, Kiai Fadlil tidak berkeinginan menjadi pengurus. Dia hanya memposisikan dirinya sebagai perintis, penasehat, dan pembina. Dirinya merasa lebih cocok berperan sebagai dai yang berkeliling dari kampung ke kampung untuk berdakwah dan mengajar mengaji Al Quran. 


Ila Fadilasari,  Penulis buku Sejarah dan Pertumbuhan NU di Lampung