Lingkungan

Mencintai Bumi adalah Bentuk Keimanan

Sab, 16 Mei 2020 | 15:00 WIB

Mencintai Bumi adalah Bentuk Keimanan

Mencintai bumi adalah bentuk keyakinan, karena bumi memberi kita hidup.

Jakarta, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Ekologi Ath Thaariq Garut, Jawa Barat, Nyai Nissa Wargadipura menyebut mencintai  bumi adalah bentuk keimanan. Ia menjelaskan, bumi telah banyak memberikan hidup bagi umat manusia. Bumi jangan diporakporandakan, sebab umat manusia tidak punya kuasa apa pun atas alam semesta tersebut. 

"Mencintai bumi adalah keyakinan, bumi memberi kita hidup. Lalu kenapa harus diporakporandakan? Punya kuasa apa kita terhadap bumi yang telah begitu banyak memberi?" kata Nyai Nissa Wargadipura saat menjadi narasumber Webinar yang diselenggarakan Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Indonesia Consortium for Religius Studies (ICRS), Jumat (15/5).

Ia mengatakan, saat ini keadaan bumi semakin mengkhawatirkan karena telah banyak penduduk bumi yang tidak memperlakukannya dengan ramah. Tidak heran jika beberapa kali dalam setahun bumi tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Keadaan iklim berubah, hektaran hutan hancur, serta tidak adanya kepedulian dari umat manusia. 

"Itu pula yang menyebabkan menguatnya kontribusi merebaknya wabah sebelum Covid-19 seperti kolera, demam berdarah, campak, poli, kemudian ada banyak lagi, meningitis, peper, cikungunya," ujarnya.
 
Mencintai bumi sebagai keyakinan, lanjutnya, harus dipahami bahwa lingkungan dan kesehatan alam menjadi sesuatu yang penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Karena keadaan bumi yang tidak stabil telah berdampak pada konsumsi masyarakat yang serba instans dan bergantung dengan makanan berbahan kimia.

Akhirnya, persoalan itu semakin menambah persoalan kehidupan manusia sehingga  telah menjurus pada konsumsi masyarakat yang amburadul. Salah satu dampaknya adalah banyaknya perempuan Indonesia yang melahirkan secara tidak normal. 

"Situasi budaya konsumsi masyarakat  yang amburadul dan berdampak langsung terhadap kehidupan seperti semua ibu-ibu melahirkan dengan cara sesar alias tidak normal. Karena konsumsi hanya memakan mie instan ditambah nasi, kemudian ada banyak sekali kasus-kasus penuaan dini, anak-anak kurang gizi yang berdampak pada stunting," tuturnya seraya menyebutkan dampak budaya hidup tidak sehat oleh masyarakat. 
 
Dampak lainnya, sperma laki-laki Indonesia yang tidak berkualitas dan berakibat fatal pada lonjakan kelahiran anak down sindrom serta anak berkebutuhan khusus. 

Salah satu upaya agar bumi Indonesia kembali pulih dan memperbaiki tatanan sosial masyarakatnya, pemangku kebijakan atau dalam hal ini pemerintah pusat harus komitmen melaksanakan program pemulihan ekologi. 

Menurutnya, saat ini pemerintah  fokus meningkatkan ekonomi dengan membuka investasi selebar-lebarnya tanpa pernah berfikir panjang bagaimana nasib bumi dan kesehatan lingkungan Indonesia. Sehingga wajar jika sturktur tanah Indonesia kian hari kian rusak. 

"Makanya sejak sebelas tahun yang lalu, saya membangun pesantren ekologi. Di sini kami memperkenalkan suatu sistem, salah satunya sistem  agro ekologi, cara sederhana mencintai bumi," ungkapnya. 

Sektor kerusakan bumi yang dimaksud Nyai Nissa salah satunya adalah kebakaran hutan di berbagai daerah Indonesia. Dalam persitiwa itu 857.756 hektar hutan dan lahan rusak parah. Rinciannya adalah 630.451 hektar lahan mineral dan 227.304 hektar lahan gambut. 

Selain itu, laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa total kerusakan dan kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan di Indonesia tahun 2019 mencapai lebih dari US$ 5,2 miliar. Angka ini setara dengan 0,5 persen produk domestik bruto (PDB) negara.

Pewarta: Abdul Rahman Ahdori 
Editor: Kendi Setiawan