Lingkungan

Guru Besar IPB Ingatkan Potensi Kebakaran Gambut di Musim Kemarau

Rab, 13 Mei 2020 | 10:15 WIB

Guru Besar IPB Ingatkan Potensi Kebakaran Gambut di Musim Kemarau

Pengawasan dan pengelolaan lahan gambut yang tepat dan ramah lingkungan sangat diperlukan untuk memulihan seluruh ekosistem gambut yang ada.

Jakarta, NU Online
Guru Besar Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Bambang Hero Saharjo mengingatkan masyarakat dan pemangku kebijakan di tujuh provinsi di Indonesia mengenai potensi kebakaran lahan gambut di musim kemarau. Menurutnya, pada musim kemarau, potensi kebakaran gambut lumayan tinggi. 
 
"Kebakaran terjadi biasanya pada musim kemarau, misalnya kebakaran di Sumatra Selatan pada kebakaran gambut musim kemarau itu tidak sedikit yang dipenuhi oleh asap (beracun)," kata Profesor Bambang Hero Saharjo.

Ia menceritakan, dalam kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan beberapa waktu yang lalu diduga kuat terjadi di daerah industri. Pihaknya telah mendapatkan bukti yang menunjukan warna asap cenderung putih tidak seperti warna kebakaran biasanya yakni hitam atau coklat. Karena itu diduga kuat kebakaran itu dilakukan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. 

"Kalau kita lihat dalam kebakaran tersebut kenapa asapnya itu berwarna putih, tidak coklat atau hitam. Ketika kami turun ke lapangan bersama dengan tim dari Amerika dan kami melakukan penelitian, kebakaran itu juga terjadi di dalam lokasi wilayah usaha, pertanyaannya siapa yang bisa membuat seperti ini?" kata Prof Bambang.
 
Ia mengatakan, ada beberapa gambar yang didapatkan secara langsung melalui helikopter dan sebagainya. Dengan beberapa instrumen sekarang ini sebenarnya bisa dilacak.
 
Terlepas dari kebakaran hutan yang kerap terjadi pada musim kemarau, Profesor Bambang menilai pengawasan dan pengelolaan lahan gambut yang tepat dan ramah lingkungan sangat diperlukan untuk memulihan seluruh ekosistem gambut yang ada. Upaya itu dapat dilakuan secara gotong royong antara masyarakat dan pemerintah setempat. 
 
Selanjutnya, penting sekali warga mengetahui bagaimana tata cara mengelola lahan gambut. Agar luas lahan dan hutan dapat direstorasi dengan maksimal sehingga kulitas udara lahan gambut semakin sejuk serta memberikan manfaat yang signifikan untuk kehidupan. 

"Kemudian, yang menjadi persoalan disini akan terungkap banyak hal yang merupakan menjadi kewajibannya (oknum koorporasi) itu tidak terpenuhi, mulai dari sarprasnya, limorning, dan sebagainya," ujarnya. 
 
Terakhir, Profesor Bambang juga mengingatkan bahwa kebakaran hutan dan lahan terjadi malam hari. Pengawasan oleh berbagai elemen tidak boleh lengah karena akan sangat membahayakan semua pihak termasuk mengancam nyawa manusia. 

Sebagai catatan, satu bulan yang lalu Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi musim kemarau  berlangsung sejak pertengahan April-Mei bulan ini. Pada bulan tersebut telah terjadi peralihan Angin Baratan (Monsun Asia) menjadi Angin Timuran (Monsun Australia) sehingga suhu atmosfer cenderung panas.     
 
Menurut BMKG, di wilayah Bali dan Jawa, musim kemarau sudah berlangsung sejak empat pekan terakhir. Sedangkan untuk pulau Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan terjadi Mei 2020 ini. Puncaknya, kata BMKG, terjadi pada Juni sampai dengan Agustus 2020, pada bulan itu Monsun Australia sepenuhnya dominan di wilayah Indonesia.    
 
Beberapa daerah menjadi wanti-wanti pemerintah terutama daerah yan ada di pulau Sumatera dan Kalimantan, di mana dua pulau tersebut terdapat gambut yang cukup luas yakni mencapai 22,5 juta hektar, di tujuh provinsi termasuk Papua.
 
Karena itu, masyarakat yang tinggal di sekitaran lahan gambut diminta memperkuat pengawasan titik api (hotspot) agar tak terjadi kebakaran hebat yang dapat merugikan semua pihak.  

Pewarta: Abdul Rahman Ahdori 
Editor: Kendi Setiawan