Nasional

25 Tahun Reformasi, PB PMII: Pasca-Reformasi Baru Sebatas Demokrasi Prosedural

Ahad, 21 Mei 2023 | 14:00 WIB

25 Tahun Reformasi, PB PMII: Pasca-Reformasi Baru Sebatas Demokrasi Prosedural

Ketua Umum PB PMII, Muhammad Abdullah Syukri. (Foto: Dok. PB PMII)

Jakarta, NU Online

25 tahun yang lalu, Indonesia memasuki fase perpindahan sistem demokrasi terpimpin ke demokrasi konstitusional yaitu masa reformasi. Era reformasi di Indonesia ditandai dengan turunnya kekuasaan Soeharto sebagai presiden yang telah berkuasa sepanjang 1966-1998. Rezim sewenang-wenang dan korup menyebabkan Indonesia terimbas krisis moneter sehingga masyarakat dan mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menurunkan Soeharto.


Perpindahan kepemimpinan pada tahun 1998 diharapkan dapat mendukung realisasi cita-cita reformasi, antara lain; pemerintahan yang bersih dan transparan, pemerintahan yang pro rakyat, sistem demokrasi yang mapan, serta dapat membangun kesejahteraan umum. 


Dalam hal ini, Ketua Umum Pengurus Besar Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Muhammad Abdullah Syukri mengatakan, 25 tahun reformasi membutuhkan refleksi bersama bagi semua kalangan, terutama untuk para pemangku kepentingan (stakeholders), apakah sistem politik dan pemerintahan di Indonesia sudah sesuai dengan cita-cita reformasi atau belum?


Menurutnya, sebagai organisasi gerakan, PMII melihat bahwa pemerintahan pasca-reformasi baru sebatas pada pelaksanaan demokrasi prosedural, belum menyentuh pada substansi. Dengan melihat kenyataan itu, Gus Abe, sapaan akrab Ketua Umum PB PMII, menyebut pentingya refleksi bersama dengan jujur dan terbuka. 


“Dua puluh lima tahun reformasi, saya melihatnya demokrasi prosedural kita menguat, sementara demokrasi substansial seperti mewujudkan kesejahteraan umum dan mewujudkan negara yang bebas korupsi belum sepenuhnya terlihat,” kata Gus Abe, Ahad (21/5/2023). 


Alumnus Universitas Duisburg Essen Jerman ini mengungkapkan, untuk mencapai substansi demokrasi, seluruh elemen bangsa di Indonesia, antara lain dari unsur pemerintah, swasta, unsur organisasi masyarakat, unsur organisasi mahasiswa, para akademisi, dan media, yang harus bekerja lebih keras lagi. Artinya bahwa untuk mewujudkan negara yang adil dan bebas korupsi membutuhkan kerja besar elemen bangsa. 


“Saya kira sudah ada ikhtiar baik dari elemen bangsa; dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Namun kerjasama yang baik ini harus terus ditingkatkan,” tuturnya. 


Sebagai pimpinan organisasi PMII, Gus Abe juga menekankan bahwa PMII terus berupaya agar demokrasi di Indonesia terus mengalami kemajuan, melalui kegiatan pendidikan kader. Kegiatan ini, katanya, adalah cara PMII untuk menyiapkan calon pemimpin masa depan, sehingga berkontribusi terhadap kemajuan demokrasi di Indonesia. 


Pekerjaan rumah 25 tahun reformasi

Aktivis 98, Muhammad Syafi'i Alieha, mengatakan, 25 tahun reformasi, masih ada pekerjaan rumah yang juga harus dituntaskan, antara lain yaitu mewujudkan pemerintahan yang bersih, penegakan HAM, dan peningkatan kesejahteraan umum. 


Menurut Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang biasa disapa Savic Ali ini, penegakan HAM di Indonesia masih sangat lemah, sebab, sampai saat ini, penegakan hukum korban 98 belum juga tuntas.  


“Pemerintah tidak melakukan banyak hal, seolah-olah dilupakan. Tanpa dengan menafikan, mengabaikan perasaan para korban. Padahal prinsip keadilan sangat penting, agar negara berjalan dengan baik,” kata Savic Ali. 


Savic menyebutkan, aktivis dan masyarakat yang menjadi korban pada kerusuhan tahun 1998 antara lain korban kekerasan dan korban pemerkosaan yang secara fakta memang ada. 


Namun, tidak ada proses penyelesaian yang dilakukan oleh aparat pemerintah sampai dengan saat ini. Oleh sebab itu, Savic menilai bahwa 25 tahun reformasi adalah momentum para aktivis mengingatkan pemerintah terkait dengan penegakan HAM tersebut. 


Belum lagi kasus korupsi yang juga cukup tinggi di Indonesia, teranyar adalah kasus korupsi yang melibatkan Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jhony G Plate. Savic menilai, kasus korupsi menjadi kendala dan halangan bagi Indonesia untuk menjadi negara yang maju serta mengorbankan kepentingan umum. 


“Korupsi menjadi konsen kita semua. Makanya salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun 1998 adalah hapus KKN. Hari ini, Pak Harto sudah turun, pembatasan kekuasaan sudah dilakukan, tidak bisa dua periode, dwifungsi abri juga sudah tidak ada. Tapi KKN masih menjadi PR besar,” pungkas Savic Ali. 


Kontributor: Abdul Rahman Ahdori

Editor: Fathoni Ahmad