Nasional

25 Tahun Reformasi: Korupsi Masih Merajalela, Kemiskinan Tinggi, Demokrasi Tak Sepenuhnya Hidup

Ahad, 21 Mei 2023 | 07:45 WIB

25 Tahun Reformasi: Korupsi Masih Merajalela, Kemiskinan Tinggi, Demokrasi Tak Sepenuhnya Hidup

Salah satu suasana demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998. (Foto: Erik Prasetya via BBC Indonesia)

Jakarta, NU Online

Setiap 21 Mei, masyarakat Indonesia diingatkan kepada momen penting sepanjang sejarah, yaitu lengsernya Orde Baru 21 Mei 1998. Gerakan reformasi yang diprakarsai oleh jutaan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia tersebut menjadi titik balik keberhasilan masyarakat menggulingkan rezim korup dan sewenang-wenang yang sudah berkuasa selama 32 tahun. 


Mantan Aktivis 98, Muhammad Syafi'i Alielha atau biasa disapa Savic Ali mengatakan, momentum 25 tahun reformasi menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik serta mendorong adanya kebijakan yang bermuara pada kemaslahatan umum, harus terus dilakukan. Menurut Savic Ali, 25 tahun yang lalu, jutaan mahasiswa turun ke jalan untuk menurunkan Presiden Soeharto yang banyak melakukan kesewenang-wenangan.


Bagi mantan aktivis Forkot (Forum Kota) itu, hadirnya reformasi sebagai upaya untuk menghentikan kepemimpinan Soeharto yang otoriter, sentralistik serta syarat KKN dan syarat kekerasan. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini menilai, dua puluh lima tahun reformasi, pilar-pilar demokrasi di Indonesia belum hidup sepenuhnya. Sebab kata dia, sampai dengan saat ini, kasus korupsi serta kemiskinan di Indonesia masih merajalela. 


“Hari ini tidak sepenuhnya demokrasi hidup. Karena korupsi masih merajalela, kemudian tingkat kemiskinan juga masih tinggi. Artinya, ekonomi masih dikuasai oleh sejumlah pihak,” kata Savic Ali kepada NU Online, Ahad (20/5/2023). 


Selain itu, meski pemerintahan saat ini tidak diktator, namun, masih ditemukan ada segelintir elite yang berupaya menguasai wilayah tertentu untuk kepentingan pribadinya. Dengan demikian, bila menggunakan tolak ukur political right, Savic Ali menegaskan, secara umum Indonesia hari ini lebih baik dibandingkan dengan tahun 1998. Saat ini, tidak ada dwifungsi ABRI yang dapat melakukan praktik otoritarian. Hanya saja, demokrasi di Indonesia sampai dengan saat ini, belum sesuai dengan tuntutan reformasi.


“Saat ini TNI bukan senjata utama. Ada perimbangan kekuatan sosial politik yang relatif setara, sehingga tidak ada satu pihak yang  dominan. Tidak seperti orde baru,” tuturnya.


Dihubungi secara terpisah, Ketua Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Yogi Apendi, mengatakan, gerakan reformasi tahun 1998 menjadi catatan penting bagi gerakan mahasiswa di Indonesia saat ini. Sebagai agent of change. Yogi menilai, mahasiswa saat itu telah menunjukkan keistimewaannya sebagai kaum terpelajar, yang bisa menjadi penyambung lidah rakyat.


“25 tahun reformasi menjadi lecutan tersendiri, agar mahasiswa maupun masyarakat saat ini bisa lebih kritis terhadap setiap kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah,” ujar dia.


Lebih lanjut, Ihsan Sirat dan Hamdan Tri Atma dalam Jurnal Indonesia of History (2020) menyebutkan, peristiwa reformasi tahun 1998 merupakan gerakan yang menghendaki adanya suatu perubahan ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Buruh, tani, mahasiswa, serta masyarakat dari semua lapisan di Indonesia saat itu menghendaki adanya perubahan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum dan budaya. 


"Salah satu asumsi tentang pemicu kerusuhan Mei 1998 yang paling menonjol adalah akibat terjadinya peristiwa penembakan 4 mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, yaitu sehari sebelum kekacauan terjadi," tulis mereka.


Peristiwa kerusuhan Mei 1998 tidak bisa dipahami sebagai sebuah peristiwa yang terpisah dari rangkaian peristiwa sebelumnya, bersamaan maupun dengan yang terjadi setelahnya. Hal itu dikarenakan kerusuhan Mei 1998 merupakan paduan dari dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang melibatkan pertarungan berbagai kepentingan di dalamnya. 


Sementara gerakan mahasiswa saat itu terus melakukan perlawanan terhadap kepemimpinan Soeharto yang otoriter yaitu peran dominan dalam pemerintahannya kepada militer yang termasuk dalam praktik otoritarian. 


Salah satu contoh dari gaya kepemimpinan otoriter adalah kebijakan dwifungsi ABRI, dalam kebijakan ini ABRI diberikan kesempatan untuk berperan dalam bidang di luar tugasnya seperti bidang politik.

 

Soeharto memudarkan demokrasi di Indonesia dengan alasan kepentingan keamanan dalam negeri dengan adanya batasan partai politik, penerapan sanksi dan penahanan lawan politik. 


Sedangkan kepemimpinan Soeharto cenderung sentralistik, karena Soeharto selalu memutuskan kebijakan sesuai dengan kehendaknya sendiri. 


Kontributor: Abdul Rahman Ahdori

Editor: Fathoni Ahmad