Nasional

3 Pelajaran Penting dari Gerakan Perempuan di Era Reformasi

NU Online  ·  Kamis, 22 Mei 2025 | 18:00 WIB

3 Pelajaran Penting dari Gerakan Perempuan di Era Reformasi

Gambar ini hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Yuni Asriyanti mengungkapkan terdapat tiga pelajaran penting yang dapat diambil dari gerakan perempuan pada era reformasi sejak 1998.


Pertama, perempuan memiliki kapasitas menjadi pemimpin. Ia menyampaikan bahwa perempuan memiliki kapasitas luar biasa untuk menjadi pemimpin di ruang publik, yang terlihat dari keterlibatan mereka dalam mendorong perubahan sosial dan politik.


“Terbukti dari keterlibatan mereka dalam demonstrasi, advokasi hak asasi manusia (HAM) dan pembentukan jaringan solidaritas,” ujar Yuni kepada NU Online pada Selasa (21/5/2025).


Kedua, membuka ruang sipil. Ia menyatakan bahwa era reformasi telah membuka ruang bagi perempuan untuk menyuarakan hak-hak mereka.


"Reformasi membuka ruang politik baru yang dimanfaatkan perempuan untuk mendorong kebijakan yang lebih responsif gender," katanya.


"Gerakan perempuan melahirkan kebijakan afirmatif, seperti kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen," tambahnya


Ketiga, terbentuknya advokasi perempuan. Ia mengatakan bahwa pasca-reformasi 1998, lahirlah Komnas Perempuan pada tahun yang sama untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender.


“Pengalaman kekerasan dan ketidakadilan yang mereka alami mendorong lahirnya mekanisme advokasi baru,” kata Yuni.


Peran Komnas Perempuan

Yuni mengungkapkan bahwa Komnas Perempuan terus memperjuangkan hak-hak perempuan dan merespon berbagai bentuk kekerasan serta diskriminasi yang muncul selama dan pasca reformasi.


Oleh karena itu, Komnas Perempuan memiliki lima tugas utama dalam upaya pemenuhan hak asasi perempuan.


1. Mendokumentasikan dan memantau kekerasan terhadap perempuan secara sistematis melalui Catatan Tahunan (CATAHU) yang menjadi rujukan kebijakan nasional.


2. Mendorong reformasi hukum dan kebijakan, termasuk advokasi untuk Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (2004), UU TPKS dan UU serta kebijakan lain yang relevan.


3. Mengembangkan mekanisme perlindungan dan pendampingan korban, termasuk memberikan rekomendasi kebijakan dan layanan rujukan yang sesuai.


4. Mengarusutamakan perspektif gender dalam kebijakan publik dan mendorong negara untuk mengadopsi prinsip keadilan gender dan HAM dalam pembangunan nasional.


5. Mengadvokasi pengakuan dan pemulihan korban pelanggaran HAM masa lalu, termasuk korban kekerasan seksual Mei 1998, melalui pendekatan keadilan transisional.