Nasional

4 Catatan INFID terkait Kasus Rempang, dari Regulasi hingga Audit

Ahad, 17 September 2023 | 09:00 WIB

4 Catatan INFID terkait Kasus Rempang, dari Regulasi hingga Audit

Pulau Rempang. (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mengecam keras tindakan represif yang terjadi di hadapan anak-anak dan warga Pulang Rempang, Batam, Kepulauan Riau oleh aparat kepolisian. Bahkan media massa memberitakan video yang menunjukkan penghentian paksa proses belajar mengajar di sekolah, dengan latar suara dentuman yang diduga dari tembakan gas air mata, hingga membuat para anak dan warga sekitar berlarian, menangis, dan trauma.


Proyek Rempang Eco City merupakan bagian Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional yang disahkan pada 28 Agustus 2023. Meskipun Badan Pengembangan Batam (BP Batam) memperkirakan investasi pengembangan Pulau Rempang dapat mencapai Rp 381 triliun dan membuka 306 ribu tenaga kerja hingga 2080, tetapi aspek hak asasi manusia harus menjadi dasar pembangunan dan investasi di atas kalkulasi keuntungan.


Direktur Eksekutif INFID Iwan Misthohizzaman menyampaikan bahwa INFID menyuarakan catatan keras yang harus menjadi perhatian negara dan pengelola. Menanggapi kasus tersebut, INFID mengeluarkan empat catatan penting.


Pertama, Pemerintah perlu menghentikan proses relokasi hingga ada prosedur, kajian, dan regulasi yang jelas terkait hak pengelolaan tanah di Pulau Rempang. Pemerintah perlu mengkaji ulang regulasi hak pengelolaan atas tanah di Pulau Rempang secara jelas dan transparan, artinya melibatkan secara bermakna warga lokal dan masyarakat adat setempat.


Studi terakhir INFID (2023) mengenai pembiayaan proyek pembangunan menemukan bahwa motivasi pembiayaan pembangunan saat ini mayoritas berbasis komersialisasi, mengakibatkan rendahnya akuntabilitas proyek pembangunan, disertai proses proyek pembangunan yang terburu-buru dan dipaksakan dikarenakan menjelang tahun 2024 di masa akhir kepemimpinan pemerintah saat ini.  


Kedua, INFID juga mendesak Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk meminta maaf kepada publik dan warga Pulau Rempang karena telah menggunakan gas air mata di dekat area sekolah yang telah membahayakan anak-anak, mengganggu dan mencerai beraikan proses belajar-mengajar yang menjadi hak anak dan juga kewajiban negara untuk meningkatkan kapasitas warga negara.


Polri juga harus melakukan investigasi menyeluruh yang transparan dan akuntabel terkait penggunaan kekerasan dan gas airmata yang tidak lazim digunakan di wilayah yang terdapat lembaga pendidikan yang membuyarkan kegiatan belajar mengajar yang sedang berlangsung.


Penggunaan gas air mata ini jelas melanggar aturan yang berbunyi “Polisi dilarang untuk melakukan kekerasan saat bertugas, kecuali untuk mencegah kejahatan” sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 huruf c Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, serta Peraturan Kapolri No 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian yang meletakkan penggunaan gas air mata pada tahapan ke-5 (pasal 5 ayat 1e) dan yang pada pasal 5 ayat 2 menegaskan bahwa tahapan penggunaan kekuatan harus sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka.    


Ketiga, negara harus menjamin pelaksanaan regulasi yang memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara, termasuk masyarakat adat, dari potensi pelanggaran atas nama investasi semata. Investasi harus dan tetap dapat dijalankan dengan sepenuh penghargaan terhadap seluruh hak masyarakat yang dijamin UU.


Protes dan aksi penolakan penggusuran masyarakat Pulau Rempang pada 7 dan 11 September 2023 merupakan bukti belum terjalinnya komunikasi dan tercapainya kesepakatan yang adil bagi warga dan masyarakat adat setempat atas keputusan relokasi warga untuk pembangunan Rempang Eco City ini.


Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39/1990 pasal 6 jelas menyebutkan bahwa dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Serta identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. 


Keempat, melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh proyek strategis nasional (PSN) dengan menggunakan kerangka akuntabilitas, keberlanjutan lingkungan dan HAM. Proses perencanaan, implementasi dan pemantauan proyek PSN (seperti IKN, KEK, dan industri hilirisasi) harus melibatkan publik dan kelompok non pemerintah untuk memastikan proyek tersebut berdasarkan kebutuhan rakyat dan selaras dengan agenda pembangunan, serta tidak berpihak kepada investor dan oligarki.


“Maka, kasus Rempang ini jangan sampai menjadi contoh nyata bahwa negara lebih mementingkan investasi tanpa memanusiakan warganya sendiri. Peristiwa ini telah menjadikan Rempang sebagai mata air dari air mata kami!” tutup Iwan.