Nasional

4 Usulan Kebijakan KH Ma’ruf Amin Saat Jadi Anggota DPRD DKI Jakata

Ahad, 11 November 2018 | 09:30 WIB

Jakarta, NU Online
KH Ma’ruf Amin (Kiai Ma’ruf) menjadi anggota DPRD DKI Jakarta selama dua periode: 1971-1977 dan 1977-1982. Pada saat di parlemen, Kiai Ma’ruf berhasil menduduki beberapa posisi strategis. Diantaranya Ketua Fraksi Golongan Islam DPRD DKI Jakarta (1971), Ketua Fraksi PPP DKI Jakarta (1973-1977), dan Pimpinan Komisi A DPRD DKI Jakarta (1977-1982).

Selama berkiprah di DPRD DKI, Kiai Ma’ruf dikenal sebagai anggota yang banyak menyampaikan usulan, gagasan, dan ide-ide yang cemerlang dan orisinil. Banyak usulannya yang kemudian disahkan pemerintah menjadi kebijakan publik hingga memberikan banyak manfaat.  

Merujuk buku 70 Tahun DR KH Ma’ruf Amin: Pengabdian Tiada Henti kepada Agama, Bangsa, dan Negara dan juga buku KH Ma’ruf Amin: Penggerak Umat, Pengayom Bangsa, setidaknya ada empat usulan kebijakan yang paling berkesan dan pernah disampaikan Kiai Ma’ruf selama menjadi anggota dewan. Tiga usulan kebijakan terkait pelayanan publik secara umum dan satu usulan bersifat keagamaan.

Pertama, pencantuman bulan dan tahun habis masa berlaku Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) di plat nomor. Sebelumnya plat kendaraan hanya mencantumkan nomor polisi saja, tidak ada keterangan kapan masa habis STNK seperti saat ini. Hal ini membuat polisi sering menggelar razia untuk mengecek masa aktifnya. Akibatnya, sering terjadi kemacetan lalu lintas.  

Kiai Ma’ruf kemudian mengusulkan agar dicantumkan keterangan pencantuman bulan dan tahun habis masa berlaku STNK di plat, bukan hanya nomor polisi saja. Selain memudahkan polisi, ini juga menjadikan masyarakat untuk melakukan kontrol diri atas masa berlaku STNK nya masing-masing. Usulan ini disetujui menjadi usulan bersama fraksi dan diterima pemerintah. Tidak hanya itu, usulan ini kemudian menjadi standar nasional.  

Kedua, kebijakan dana pasar. Pada saat itu, pedagang lama di sebuah pasar yang baru saja dibangun akan tergusur. Mengapa? Karena pembangunan pasar baru tersebut menggunakan dana swasta. Ini membuat harga kios menjadi mahal dan pedagang lama tidak kuat membayarnya. 

Untuk mengatasi persoalan ini, Kiai Ma’ruf mengusulkan agar pasar dibangun dengan menggunakan dana pemerintah. Melalui mekanisme ini, masyarakat bisa membeli kios dengan cara mengangsurnya. Usulan ini disetujui Pemprov DKI Jakarta. Tidak hanya itu, usulan ini juga menjadi cikal bakal diterbitkannya Inpres Dana Pasar yang berlaku untuk seluruh pasar di Indonesia.

Ketiga, standarisasi dan rayonisasi sekolah dan madrasah. Ketika itu di Jakarta muncul sekolah-sekolah favorit, unggulan, dan bertarif mahal. Sementara di satu sisi, tidak sedikit pula sekolah yang kualitasnya pas-pasan, bahkan semakin hari semakin merosot. Melihat hal ini, Kiai Ma’ruf mengusulkan agar ada standarisasi sekolah. Guru-guru yang berkualitas tidak hanya berkumpul di satu sekolah, tetapi disebar.

Kiai Ma’ruf juga mengusulkan agar ada standarisasi antara sekolah dan madrasah. Maklum pada saat itu pemerintah hanya fokus pada sekolah, abai pada madrasah. Kiai kemudian mendorong pemerintah agar kualitas guru dan gedung madrasah distandarkan dengan standar sekolah konvensional. Sama seperti di sekolah, Kiai Ma’ruf juga usul agar ada rayonisasi di madrasah.

Terakhir, soal tanah makam atau kuburan. Saat itu semua makam, baik makam umum atau pun makam wakaf, akan diubah menjadi Tempat Pemakaman Umum (TPU). Akibatnya, siapapun yang dikubur di situ harus membayar sewa tempat. Kiai Ma’ruf tidak sepakat dengan kebijakan itu. Ia menjelaskan bahwa status makam wakaf tidak bisa dihilangkan. Tanah wakaf juga tidak boleh diambil bayaran sewa seperti di TPU. Seandainya ada biaya, cukup untuk membayar ongkos gali dan perawatan.

“Makam wakaf itu tanah yang diwakafkan, ada hukumnya, tidak boleh dihilangkan,” tegas Kiai Ma’ruf.

Kiai Ma’ruf berhasil mempertahankan usulan dan pendapatnya ini. Makam wakaf akhirnya tetap ada. 

Usulan lain Kiai Ma’ruf soal makam adalah mengenai durasi atau jangka waktu kapan makam boleh dibongkar karena tidak membayar sewa. Kiai Ma’ruf mengusulkan sembilan tahun. Meski demikian target Kiai Ma’ruf adalah enam tahun. Sementara Pemprov DKI Jakarta tiga tahun. Akhirnya disepakati kalau tidak bayar tiga tahun maka makam boleh dibongkar. 

“Saya kalah, tepatnya saya dikerjai Ali Sadikin (Gubernur DKI saat itu),” kenang Kiai Ma’ruf setelah berdebat dengan Pemprov DKI Jakarta.

Mulanya Pemprov DKI Jakarta memang menginginkan tiga tahun. Kemudian terjadi perdebatan antara Kiai Ma’ruf dengan Pemprov DKI mengenai waktu pembongkaran makam. Karena tidak ada titik temu, tiba-tiba Ali Sadikin yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI membuat sebuah pernyataan di koran bahwa jika ‘jenazah susah dikubur, maka dibakar saja.’

Pernyataan ini membuat kiai-kiai sepuh seperti KH Syukron Makmun, KH Abdullah Syafii, dan lainnya marah. Mereka berpendapat kalau satu tahun dikubur saja sudah cukup. Kata ‘satu tahun’ dari kiai-kiai sepuh tersebut kemudian dijadikan ‘senjata’ Ali Sadikin dalam perdebatan dengan Kiai Ma’ruf.

“Nih kata kiai-kiai sepuh satu tahun saja sudah cukup. Masak kiai sepuh sudah bilang begitu masih ngotot sembilan tahun. Jadi tiga tahun saja cukup,” kata Kiai Ma’ruf menirukan Ali Sadikin. (Muchlishon)