Nasional

5 Pasal Kontroversial yang Paling Disorot dalam KUHP Baru

Sel, 13 Desember 2022 | 21:00 WIB

5 Pasal Kontroversial yang Paling Disorot dalam KUHP Baru

Ilustrasi hukum dan KUHP. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Pengesahan RUU KUHP menjadi Undang undang oleh DPR RI pada Selasa lalu banyak menuai kritik tajam dan protes publik. KUHP yang baru disahkan ini dinilai membawa serta sejumlah pasal-pasal bermasalah yang mengancam demokrasi dan kebebasan berpendapat, serta berpotensi merusak ruang privat warga negara.


Sejumlah pasal-pasal kontroversial di KUHP baru ini mengemuka lantaran dinilai multitafsir dan berpotensi menjadi pasal karet. Berdasarkan informasi yang dihimpun NU Online, berikut 4 pasal kontroversial dala KUHP yang banyak mendapat sorotan publik:


1. Penjara 3 tahun bagi penghina Presiden/Wakil Presiden

Pasal 218 mengatur ketentuan penghinaan kepada Kepala Negara/Presiden atau Wakil Presiden. Pelaku diancam hukuman tiga tahun penjara. Pasal ini merupakan delik aduan.


“Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal 218 ayat (1) KUHP.


Ayat (2) pasal tersebut memberi pengecualian. Perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri tidak termasuk kategori penyerangan kehormatan atau harkat martabat.


2. Unjuk rasa tanpa pemberitahuan 

Pasal 256 memuat ancaman Pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. 


“Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,".


3. Keringanan hukum bagi koruptor

Dalam KUHP baru, ancaman hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi menjadi lebih ringan. Pasal hukuman koruptor diturunkan yang termuat dalam pasal 603. 


Pasal kontroversial KUHP ini menjelaskan, koruptor paling sedikit dipenjara selama dua tahun yang sebelumnya empat tahun dan maksimal 20 tahun. Lalu, denda paling sedikit kategori II atau Rp10 juta yang dulunya Rp200 juta dan paling banyak Rp2 miliar.


"Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI."


4. Orang tua dipenjara jika beri pendidikan seks ke anak

Dalam pasal 412-415 KUHP jelas tertulis bahwa "Setiap Orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I". 


Pasal ini berbahaya karena bisa mengkriminalisasi orang yang mengedukasi kesehatan reproduksi.


Contohnya, Jika Anda punya anak dan ingin mengedukasi anak sejak dini agar mengenal organ reproduksinya. Maka Anda bisa dipidana karena dianggap bukan petugas berwenang. 


5. Pasal berita bohong yang membungkam kebebasan pers

Pasal soal berita bohong, yaitu pasal 263, pasal 264. Pasal ini merupakan pasal berbahaya karena bisa membungkam kebebasan pers. Padahal, aturan tentang pemberitaan telah diatur melalui mekanisme UU Pers yang kewenangannya ada di bawah Dewan Pers.


Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengidentifikasi ada 19 pasal dalam Rancangan Undang-undang KUHP yang mengancam secara langsung kebebasan pers di Indonesia.


Sembilan belas pasal tersebut akan berdampak khusus terhadap karya jurnalistik atau mereka yang bekerja sebagai awak pers, seperti jurnalis, editor, pemimpin redaksi dan narasumber.


Selain itu, AJI menilai pembahasan RKUHP tidak transparan dan tidak memberikan ruang kepada publik untuk dapat berpartisipasi secara bermakna.


Pewarta: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad