Nasional

5 Prinsip Bangun Peradaban dari Isra’ Mi’raj menurut Prof Nadir

Ahad, 12 Februari 2023 | 19:46 WIB

5 Prinsip Bangun Peradaban dari Isra’ Mi’raj menurut Prof Nadir

Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-Selandia Baru, Profesor Nadirsyah Hosen saat mengisi acara Peringatan Isra’ Miraj dan Doa Bersama untuk Korban Gempa Turki-Suriah Ahad (12/2/2022). (Foto: Tangkapan layar Zoom)

Jakarta, NU Online

Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-Selandia Baru, Profesor Nadirsyah Hosen menjelaskan bahwa esensi peristiwa Isra’ Mi’raj yang dijalankan Rasulullah saw mengajarkan prinsip-prinsip dasar dalam membangun peradaban.


Hal ini ia sampaikan saat mengisi acara Peringatan Isra’ Miraj dan Doa Bersama untuk Korban Gempa bertajuk Perjalanan Muslim Indonesia dalam Memajukan Peradaban yang digagas PCINU Turki secara virtual melalui Zoom, Ahad (12/2/2022).


Dosen Senior Monash University Australia itu menyebutkan sedikitnya terdapat 5 prinsip yang patut diteladani dari peristiwa Isra’ Mi’raj dalam konteks membangun peradaban. Untuk membangun peradaban, kata dia, Islam mengajarkan untuk selalu mengedepankan prinsip perdamaian, negosiasi, kasih sayang, tanggung jawab, dan keseimbangan.


Ia menyebutkan bahwa hal pertama yang harus dipahami ketika Islam hadir di muka bumi adalah tidak untuk menghancurkan peradaban yang sudah ada. Islam datang bukan sebagai azab bagi umat sebelumnya, melainkan Islam datang sebagai rahmat.


“Memang ciri umat akhir zaman adalah menyempurnakan yang sudah ada. Al-Qur’an membenarkan kitab suci yang sebelumnya sudah ada. Membenarkan apa yang ada bersama kalian atau apa yang ada dia antara kalian. Itu prinsip jalan Islam,” jabarnya.


Itu sebabnya, lanjutnya, Nabi Muhammad saw tidak bisa memaksakan kehendaknya atas keyakinan umat manusia. Misi Nabi Muhammad saw adalah bukan mengislamkan semua umat, tapi semata-mata adalah rahmatan lil alamin.


“Sekarang ini banyak yang merasa Islam tertinggal dalam sosial budaya. Sehingga banyak ustadz yang membahas kiamat. Dikit-dikit bicaranya kiamat. Mereka sudah kalah. Bukan memperbaiki keadaan masa sekarang, tapi justru menghancurkan,” kata Gus Nadir.

 

Menurut Gus Nadir, Isra’ Mi’raj juga mengajarkan bahwa membangun peradaban dunia memerlukan negosiasi. Ini tercermin dari kisah “bolak-baliknya” Nabi Muhammad saw yang bernegosiasi kepada Allah swt soal perintah shalat sebanyak 50 kali dalam sehari.


“Lalu bertemu (Nabi Muhammad saw) dengan Nabi Musa yang bilang itu terlalu banyak. Akhirnya Nabi minta dikurangi lagi. Terus begitu,” ujar pria kelahiran 8 Desember 1973 itu.


“Bayangkan, ini perintah Allah belum dilaksanakan, tapi sudah ditawar. Ini kasih sayang Allah luar biasa. Kalau kita ingin menegakkan peradaban dunia dengan kekerasan ini nggak akan berhasil. Ternyata Allah pun mau dan rela dinegosiasi perintahnya,” tambahnya


Selanjutnya, bagi putra bungsu KH Ibrahim Hosen itu, peradaban manusia dibangun dengan pondasi kasih sayang. Gus Nadir berpendapat bahwa bagi seorang Muslim, kokoh pada prinsip adalah penting, tetapi fleksibel pada teknis juga tak kalah penting.


“Nabi Muhammad tidak meminta perintah shalat untuk dibatalkan, tapi teknisnya ditawar. Kalau hitam dan putih, itu tidak akan bisa. Yang terjadi pertempuran terus menerus,” ucapnya.


Kemudian, yang bisa diteladani untuk membangun peradaban dari kisah Isra’ Mi’raj adalah setelah Rasulullah berjumpa dengan Allah, Nabi bertanggung jawab dan kembali lagi ke bumi.


“Padahal Nabi sudah di Sidratul Muntaha. tapi Nabi Muhammad turun ke bawah dan membangun peradaban dengan sumber daya manusia lalu hijrah ke Madinah untuk mendidik sahabatnya. Ini tidak mudah,” tuturnya.


Terakhir, Gus Nadir menyebut bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj memunculkan polarisasi. Ada kaum yang tidak percaya dengan kisah Isra’ Mi’raj dan ada yang percaya. Berkaca pengalaman itu, ia mengartikan bahwa membangun peradaban memerlukan keseimbangan mulai dari dalam diri masing-masing.


“Akan ada yang mengolok dan mencaci maki. Kebencian yang selalu diproduksi. Kita tidak bisa mengontrol opini orang tentang kita. Karena masing-masing punya hak untuk berpendapat. Yang bisa kita lakukan adalah mengontrol diri kita,” katanya.


“Dalam membangun peradaban kalau kita terus mendengarkan orang yang mengolok kita, kita tidak bisa maju, kerja kemanusiaan tidak bisa dilakukan dengan banyak protes. Sukses itu panjang prosesnya, bukan panjang protesnya,” pungkasnya.


Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Muhammad Faizin