Nasional

7 Pasal Progresif RUU KIA, Selain Cuti Melahirkan 6 Bulan

Kam, 16 Juni 2022 | 20:00 WIB

7 Pasal Progresif RUU KIA, Selain Cuti Melahirkan 6 Bulan

Aturan yang tertuang dalam RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) diajukan untuk menjamin tumbuh kembang anak dan pemulihan bagi ibu setelah melahirkan.

Jakarta, NU Online

Kebijakan masa cuti melahirkan 6 bulan mendapat banyak sambutan positif dari masyarakat. Aturan yang tertuang dalam rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) diajukan untuk menjamin tumbuh kembang anak dan pemulihan bagi ibu setelah melahirkan.


Ketua DPR RI Puan Maharani menilai RUU KIA menjadi penting untuk disahkan karena RUU ini dirancang untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul.


“RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 kita harapkan bisa segera rampung. RUU ini penting untuk menyongsong generasi emas Indonesia,” kata Puan dikutip NU Online dari situs resmi DPR, Kamis (16/6/2022).


Selain penambahan cuti melahirkan, dalam draf RUU KIA yang diperoleh NU Online juga termuat beberapa pasal progresif yang mengakomodasi kebutuhan ibu-pekerja. Berikut 7 pasal progresif RUU KIA:


Pertama, definisi ibu yang lebih egaliter ada dalam Pasal 1 ayat 3, yang berbunyi bahwa ibu didefinisikan sebagai perempuan yang mengandung, melahirkan, menyusui anaknya dan/atau mengangkat, memelihara, dan/atau mengasuh anak. 


Kedua, ibu berhak mendapat pendampingan dan layanan psikologi, hak ini disebut dalam Pasal 4 ayat 1 huruf g. Setiap ibu berhak mendapatkan pendampingan dan layanan psikologi.


Ketiga, cuti berbayar bagi suami yang istrinya melahirkan/keguguran diatur Pasal 5 RUU KIA. Disebutkan, untuk menjamin pemenuhan hak ibu yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d, suami dan/atau keluarga wajib mendampingi.


Suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berhak mendapatkan hak cuti pendampingan: lamanya cuti pendampingan bagi suami adalah 40 hari jika istri melahirkan, dan 7 hari bila istri keguguran.


Keempat, pemerintah pusat dan daerah wajib alokasikan anggaran untuk program kesejahteraan ibu dan anak  disebutkan dalam Pasal 10. Pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab mulai dari merumuskan program kesejahteraan ibu dan anak, melaksanakannya, hingga menyediakan ongkosnya.


Kelima, pemerintah dimandatkan untuk membuat rencana target penurunan angka kematian ibu dan anak diatur dalam Pasal 15. Caranya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib melakukan harmonisasi dan sinkronisasi untuk menghindari tumpang tindih kebijakan dan program.


Keenam, dukungan untuk ibu di tempat kerja tertulis dalam Pasal 20. Dukungan tersebut salah satunya kemudahan penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum bagi Ibu dan Anak.


Ketujuh, Pasal 25 ayat 2 mengatur pemerintah wajib menafkahi ibu dan anak yang lemah secara ekonomi. Nafkah yang dimaksud adalah pemberian makanan sehat dan gizi seimbang; pemberian bahan pokok penunjang; pemberian makanan pendamping air susu ibu dan makanan tambahan; pelayanan kesehatan dan pengobatan gratis; dan/atau pemberian perlengkapan Anak.


Pewarta: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad