Nasional

Akar Perbedaan Penetapan Bulan Ramadhan dan Idul Fitri

Rab, 12 April 2023 | 14:00 WIB

Akar Perbedaan Penetapan Bulan Ramadhan dan Idul Fitri

Rukyatul hilal awal Ramadhan dilakukan di wilayah Jawa Timur. (Foto: NU Online Jatim)

Jakarta, NU Online 
Umat Islam Indonesia tampaknya akan merayakan Idul Fitri 1444 H tidak berbarengan. Hal ini disebabkan ketinggian hilal yang masih berada di bawah standar minimal imkan rukyah (visibilitas) atau kemungkinan hilal dapat terlihat, yaitu 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. 


Data bulan tanggal 29 Ramadhan 1444 H atau 20 April 2023 berdasarkan markaz Jakarta menunjukkan ketinggian hilal masih berada pada 1 derajat 55 menit 43 detik dan elongasi 3 derajat 18 menit 23 detik dengan waktu hilal berlangsung selama 9 menit 29 detik. Sementara ijtimak terjadi pada Kamis Legi, 20 April 2023 pada pukul 11.16.38 WIB.


Ketua Lembaga Falakiyyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Sirril Wafa menjelaskan bahwa perbedaan penetapan awal bulan ini terjadi karena ketidaksamaan dalam pemahaman fiqihnya. Sementara soal perhitungannya sendiri cenderung tidak jauh berbeda.


“Kalau dari segi falakiyah, berbagai sistem perhitungan hasilnya cenderung sama atau tidak terpaut jauh. Perbedaan itu terjadi dari cara pemahaman fiqihnya,” katanya sebagaimana dilansir NU Online dalam tulisan berjudul Awal Ramadhan 1444 H Bisa Bareng atau Berbeda, Ini Penjelasannya


Lebih lanjut, Kiai Sirril mengambil permisalan Hadits Nabi Muhammad saw tentang petunjuk penentuan awal Ramadhan dan Syawal dengan rukyatul hilal yang dipraktikkan para sahabat dengan kegiatan rukyat di lapangan secara langsung (bil fi’li). Ketika sudah ada penemuan perhitungan keberadaan matahari dan bulan membuat pemahaman terhadap hadits tersebut menjadi berbeda.


“Maka ketika dengan ilmu falak bisa dilakukan perhitungan posisi-posisi bulan dan matahari di setiap waktu secara presisi, maka sikap pemahaman terhadap hadits tersebut pun beragam,” kata pengajar ilmu falak di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.


Ada yang memahami sebagaimana adanya teks hadis, yakni harus sesuai hasil rukyat.  Jika tak berhasil, maka yang terjadi harus ikmal/istikmal, digenapkan umur bulan berjalan menjadi 30 hari, apa pun keadaannya. Namun, ada juga yang memahami bahwa rukyat secara mutlak bisa digantikan hisab (perhitungan) falakiyah. Bahkan sekalipun hilal dipastikan belum terbentuk.


Ada pula yang memahami secara proporsional antara teks hadits dan data falakiyah. Pemahaman model ini terbagi dalam beberapa versi. Pertama, ada yang mengartikan kata "rukyat" dengan kemungkinan hilal bisa dirukyat (imkan rukyat) yang diformalkan dengan kriteria-kriteria tertentu dan beragam. Namun kini di Indonesia, sudah mengarah ke kriteria baru MABIMS, yakni tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat.


“Pendapat seperti ini ada yang mengamalkan langsung, baik untuk perhitungan kalender maupun untuk penentuan awal puasa Ramadhan dan mengakhirinya,” jelas ulama ahli falak asal Kudus, Jawa Tengah itu.


Kedua, ada yang seperti model pertama, tapi dengan hanya untuk perhitungan resmi kalender. Namun untuk penentuan awal dan akhir Ramadhan harus diverifikasi dengan hasil rukyat, seperti yang sampai saat ini diamalkan oleh PBNU.


“Sebagai tambahan catatan, tampaknya masalah yang terakhir ini masih mungkin bisa berkembang melalui kajian-kajian fiqhiyahnya,” pungkas Kiai Sirril.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Syamsul Arifin