Nasional

Akibat Perang Dagang AS-China untuk Indonesia

Rab, 28 Agustus 2019 | 12:40 WIB

Akibat Perang Dagang AS-China untuk Indonesia

Alumni Fellow Students di Universitas Jinan, Guangzhou, China, Taufik Hidayadi (kiri) menyampaikan pandangannya pada diskusi publik dengan tema Dampak Perang Dagang Amerika-China terhadap Indonesia yang digelar oleh Front Mahasiswa Nahdlatul Ulama (FMNU) di Tebet, Jakarta Selatan, Senin (26/8).

Jakarta, NU Online
Maret 2018 menjadi saat perang dagang antara dua negara adidaya dimulai. Amerika Serikat memasang tarif tertentu terhadap impor baja dan lainnya, termasuk beberapa produk China.

Merespons hal tersebut, China juga melakukan hal yang sama, menerapkan tarif tertentu pada produk-produk Amerika Serikat. Dampaknya, investasi pun menurun akibat terlalu banyak risiko yang mungkin didapat jika memaksakan.

“Investasi kita mulai agak turun walaupun angkanya belum pasti fix karena perang dagang menciptakan risiko,” kata Taufik Hidayadi, Alumni Fellow Students di Universitas Jinan, Guangzhou, China, pada diskusi yang digelar oleh Front Mahasiswa Nahdlatul Ulama (FMNU) dengan tema Dampak Perang Dagang Amerika-China terhadap Indonesia di Tebet, Jakarta, Selatan, Senin (26/8).

Menurutnya, orang ketika melihat risiko menahan diri dulu untuk tidak mengucurkan investasinya baik untuk infrastruktur ataupun lainnya karena kondisi yang sangat tidak stabil.
 
“Akibat dari adanya ketidakstabilan yang diakibatkan dari perang dagang, ketika China ditahan barangnya maka akan oversuplay,” jelasnya.

Jika demikian, mengingat barang-barang mereka yang belum terjual, tentu mereka tidak akan membeli bahan bakunya lebih dahulu. Tak ayal, barang-barang para pengusaha Indonesia yang diekspor ke sana tidak dapat dikirim.

“Kalau barangnya belum terjual gak akan kulakan lagi. Maka eksportir kita mengalami tumpukan barang. Imbasnya komoditi tertahan,” jelasnya.

Dengan begitu, perdangangan ekspor impor Indonesia-China jadi tersendat. “Kita tidak bisa menjual barang-barang dengan lancar ke China,” katanya.

Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu mengungkapkan bahwa banyak item perdagangan semakin defisit lagi karena sebelumnya saja sudah defisit. Tetapi, hal itu bukan sesuatu yang bersifat jangka panjang.

“Di ekonomi itu tidak ada selamanya stabil menang, pasti ada untung rugi. Tapi sifatnya tidak longterm. Pasti akan terjadi equibilium, keseimbangan,” katanya.

Meskipun demikian, untuk sementara Indonesia mungkin mengalami sentimen berhati-hati, setidaknya bisa melihat celah lain, tidak hanya menciptakan keburukan dan pesimisme. “Kita tidak tahu Yuan didevaluasi, ataupun uang kita menguat. Kita tidak bisa membuat kesimpulan awal bahwa akan terus menerus merugikan, tetapi bisa jadi kesempatan di sana,” ujarnya.

Kegiatan ini juga menghadirkan Pemerhati Geopolitik-Ekonomi Abdul Aziz Hasyim Wahid dan Kandidat Doktur Ekonomi di Wuhan Arief Taufiqur Rochman. Hadir pula Pembina FMNU Hery Haryanto Azumi dan puluhan peserta dari berbagai kalangan.

Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad