Depok, NU Online
Tak sedikit muslim saat ini menuduh muslim lainnya sebagai kafir atau sesat. Sempitnya pemahaman keagamaan mereka menjadi faktor utama mudahnya menuduh Muslim lainnya demikian. Hal ini menimbulkan adanya upaya untuk menyatukan Islam menjadi tunggal dengan monotafsir.
"Ada upaya untuk mengelompkkan Islam hanya pada satu pandangan saja," kata Presidium Gusdurian Muhammad Subhi Azhari saat menjadi pembicara pada diskusi di Pondok Laras, Depok, Jawa Barat, Sabtu (30/6).
Di benak Subhi justru muncul pertanyaan tersendiri, jika memang Islam itu harus satu, lalu Islam seperti apa yang benar. "Satu Islam itu yang mana menjadi pertanyaan sendiri" ujarnya dalam diskusi yang digagas oleh Yayasan Inklusif bekerja sama dengan sekalilagi.id dan Gusdurian itu.
Menurut Subhi, Islam tunggal itu hanya ada pada zaman Nabi sebagai satu-satunya orang yang memiliki otoritas penuh dalam memberikan pemahaman atas teks Al-Qur'an sebagai sumber utama ajaran Islam.
"Dalam sejarahnya tidak pernah ada satu, kecuali pada zaman Nabi saja," jelasnya, "Kalau demikian, (berarti) menafikan sejarah Islam," lanjutnya.
Sementara itu, dalam diskusi yang dipandu oleh Gamal Ferdhi itu, Tokoh Muda Nahdlatul Ulama Savic Ali melanjutkan pembahasan Subhi. Ia menegaskan bahwa adanya upaya penyatuan Islam menjadi tunggal itu karena ketidakmampuan orang atau kelompok tersebut dalam menghormati perbedaan pandangan.
"Islam satu karena dia tidak bisa menghormati," tegasnya dalam diskusi yang mengambil tema "Menyuarakan Islam Toleran dan Damai" itu.
Hal tersebut berimbas pada peranggapan bahwa kelompok yang tidak sama dengan mereka dianggap merusak Islam. Padahal, menurutnya, daya tangkap terhadap makna kandungan Al-Qur'an itu berbeda-beda.
Ia pun mencontohkan satu ayat dari surat Al-Waqiah, laa yamassuhu illal muthahharun. Bagi fuqaha, katanya, ayat tersebut dijadikan dasar sebagai suatu kehati-hatian agar dalam menyentuh Al-Qur'an itu harus suci dari hadats kecil dan besar.
Tetapi penafsiran terhadap ayat tersebut tidak hanya itu. Sebagian ulama lainnya menafsirkan bahwa ayat tersebut tidak bisa dipahami oleh orang-orang yang belum bersih hatinya dari perkara-perkara buruk.
Lalu, "Bagaimana kita mengatakan Islam satu?" tanyanya yang tak butuh jawaban.
Kegiatan ini juga dihadiri oleh Pembina Yayasan Inklusif Ahmad Suaedy dan Pipit Aidul Fitriana dari Maarif Institute. Sementara itu, diskusi yang berlangsung hingga pukul empat sore lebih itu diikuti oleh kalangan lintas iman dan suku. (Syakir NF/Fathoni)