Nasional

Aktivis 98: Gus Dur adalah Pelindung bagi Kami

Sab, 3 Agustus 2019 | 15:30 WIB

Jakarta, NU Online

 

Nama Mugiyanto akan terus menjadi bagian dari sejarah Reformasi 1998. Sebab ia merupakan salah seorang dari korban penculikan yang selamat bersama Desmond J Mahesa, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Andi Arief, dan Haryanto Taslam. Waktu itu, ia diculik di Rumah Susun Klender, Jakarta, pada 13 Maret 1998. 

 

Namun yang tak banyak diungkap dalam sejarah aktivismenya selama bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD), adalah penghormatannya yang tinggi pada KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dalam sebuah talkshow ‘Peci dan Kopi’ di 164 Channel, Mugi (nama panggilannya) membeberkan kekagumannya, kenakalannya saat bertemu Gus Dur, serta ungkapan terima kasihnya pada Gus Dur.

 

Di mata aktivis yang memulai karirnya aktivismenya di UGM Yogyakarta tahun 1992, Gus Dur merupakan sosok yang sangat terhormat. “Gus Dur itu pelindung bagi kami. Beliau inspirasi dan seorang demokrat yang sebenar-benarnya. Jadi kalau kita membayangkan sosok demokrat yang sebenar-benarnya, ya Gus Dur,” kata Mugiyanto, di PBNU, Jumat (2/8). “Itu terlihat dari bagaimana dia mau dan berani menghargai perbedaan. Bagaimana dia mau dan berani ‘pasang badan’ untuk melindungi minoritas. Bagaimana dia berani menjadi orang yang mengatakan tidak dan mengkritik kekuasaan” kata Mugi. 

 

Ia menceritakan, zaman Orde baru berbeda dengan zaman saat ini, di mana sekarang, setiap orang bebas menyampaikan pendapatnya dan mengkritik pemerintah yang sedang berkuasa. Di zaman Orde Baru, kata dia, militer mengontrol semua elemen masyarakat dan tak segan-segan mengintimidasi siapa saja yang berani mengkritik pemerintah, terutama Suharto.

 

Namun menurut Mugi, intimidasi dan ancaman itu tak meciutkan nyali Gus Dur untuk melontarkan kritik pada pemerintah yang otoriter. Hal itu yang membuat Mugi sangat mengagumi Gus Dur.

 

“Butuh syarat-sayarat yang luar biasa untuk bisa seperti itu. Apalagi ketika berada dalam situasi yang otoritarianisme di zaman Suharto, dia masih berani melawan dan mengatakan tidak pada kekuasaan, berani mengkritik, berbeda. Karena aktivitasnya itu, Gus Dur diancam diculik,” kata dia.

 

Mencium tangan Gus Dur

 

Ia juga menceritakan pengalamannya berinteraksi langsung dengan Gus Dur. Pertemuan dengan Gus Dur yang melekat dalam ingatanya adalah saat ia bertemu dengan Gus Dur tahun 1999, dalam kapasitas sebagai pengurus PRD bersama Faisol Reza yang saat itu merupakan pimpinan PRD. Kala itu, ia datang ke PBNU untuk bertemu Gus Dur dalam rangka membahas rencana PRD yang hendak mengikuti Pemilu tahun 1999.

 

Dalam kesempatan itu, ada pengalaman menarik yang diingatnya sampai saat ini, yaitu pengalaman mencium tangan Gus Dur. Hal itu diingatnya lantaran ia tak biasa mencium tangan seseorang. “Saya ini kan bukan santri, saya Islam Abangan dan belum pernah nyium tangan kiai-kiai. Kalau ketemu kiai-kiai juga sikap saya biasa saja. Akan tetapi ketika bertemu Gus Dur, saya mencium tangan beliau. Dan itu pertama kali saya mencium tangan seorang kiai besar, orang yang sangat saya hormati,” kenangnya.

 

Sebenarnya, lanjut Mugi, pertemuan itu adalah pertemuan kedua dengan Gus Dur, setelah pertemuan pertama yang cukup ‘nakal’. Ia mengisahkan pertemuan pertama dengan Gus Dur di dalam sebuah forum diskusi di Fordem (Forum Demokrasi). Dalam pertemuan itu, kisahnya, ia tak bisa menahan diri untuk tak mengambil buku yang menarik perhatiannya. Dan itu berlangsung tanpa izin dari Gus Dur.  

 

Alkisah, dalam diskusi itu, Gus Dur duduk tepat di seberangnya. Sementara tepat di belakangnya, terdapat sebuah rak buku yang berisi buku-buku bagus, termasuk buku karya Jacques Leclerc, seorang ilmuan Perancis yang menulis tentang ‘kisah 1965’. “Buku ini bagus kata saya pada seorang teman waktu itu. Dan sepanjang diksusi, saya sudah tidak tenang karena naksir buku itu”.

 

Dia bertanya pada temannya, apakah Gus Dur akan marah kalau buku ini diambil. Singkat cerita, ia akhirnya membawa buku ini bersamanya lepas diskusi tersebut secara diam-dam. “Akhirnya saya ambil buku itu. Mungkin Gus Dur lihat, tapi saya yakin Gus Dur tidak akan melarang apalagi marah, karena ini buku bagus dan saya membacanya. Itu pertemuan saya dengan Gus Dur. Jadi kesan pertama saya dengan Gus Dur adalah mengambil bukunya dengan permisi ‘dalam hati’” katanya sambil tertawa.

 

Menangis saat Gus Dur dilengserkan

 

Pengalaman lain yang cukup personal bagi dia adalah saat tahun 2001 di masa pelengseran Gus Dur dari kursi Presiden. Waktu itu, ia bekerja sebagai seorang koresponden untuk sebuah statiun televisi Belanda. Tugas dia adalah meliput peristiwa penting, termasuk pemerintahan Gus Dur yang politiknya sangan dinamis.

 

Semasa proses penurunan Gus Dur, ia mengaku ‘tidak bisa terima’ saat Gus Dur diturunkan. “Saya menangis saat detik-detik penurunan Gus Dur. Waktu itu saya di depan istana. Aku nggak terima sebetulnya. Masa Gus Dur diperlakukan seperti ini. Secara emosional saya membayangkan, pasukan berani mati ini harusnya membela Gus Dur sampe mati, tapi Gus Dur diperlakukan seperti itu mereka diam saja. Sebagai seorang pengagum Gus Dur, dan penganut Gus Dur saya tidak terima” tuturnya geram.

 

Tapi kemudian setelah beberapa lama berlalu, ia menyadari bahwa Gus Dur bukan tipikal pemimpin yang akan mempertaruhkan apapun demi sebuah sebuah kekuasaan. “Gus Dur kan bilang sendiri ‘Wong gur kekuasaan. Ora dadi presiden, ora opo-opo’ (Kan cuma kekuasaan, tidak jadi Presiden juga tidak apa-apa) kan Gus Dur bilang gitu kan? Gus Dur bilang ‘Saya nggak ingin orang berkorban untuk sebuah kekuasaan’. Nah itu kan juga another level of human,” kata Mugi.

 
Menurutnya, sejarah perjuangan merebut kebebasan dari pemerintah yang otoriter tidak bisa dilepaskan dari sosok Gus Dur yang bagi dia pribadi merupakan sosok inspirator untuk perkembangan demokrasi. (Ahmad Rozali)