Nasional BEDAH BUKU

Al-Quran Universal, Tafsirnya Nisbi

Rab, 10 Juni 2015 | 00:01 WIB

Tangerang Selatan, NU Online
Buku “Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir” dibedah di Pesantren Bayt al-Qur’an, Selasa (9/6). Pesantren yang mengelola program Pasca-Tahfidzh Al-Quran ini beralamat di Perum Villa Bukit Raya (South City) Jl Boulevard Diamond Selatan, No 10 Pondok Cabe, Cinere, Tangerang Selatan, Banten.
<>
Diskusi dan bedah buku karya kader muda NU Dr M Ulin Nuha Husnan ini dimoderatori Romli Syarqawi Zain. Dua narasumber didaulat membedah buku tersebut, yakni intelektual muda NU Dr Abdul Moqsith Ghazali dan peneliti Pusat Studi Al-Quran (PSQ) Faried F Saenong, PhD.

Dalam prolognya, moderator Romli Syarqawi Zain mengatakan, ada beberapa sarjana muslim yang mencoba memberi pendekatan baru bagi teks atau penafsiran Al-Quran. Selain Nasr Hamid Abu Zayd dari Mesir, Muhammad Syahrur asal Suriah juga mencoba mendekati kitab suci ini secara kritis.

Tradisi kritis terhadap pendekatan Al-Quran, lanjut Romli, lahir bukan dari sarjana lulusan kuliah keagamaan, bukan lulusan UIN atau IAIN. Umumnya, yang menyumbangkan pemikiran kritis itu justru lulusan ilmu umum.

“Nah, Doktor Ulin Nuha memecahkan rekor ini. Penulis buku ini ternyata santri lulusan madrasah dan pesantren di Lamongan lalu kuliah di Al-Azhar Cairo. Beliau ini adik kelas saya di Mesir. Huwa asgharu minni sinnan, wa akbaru minni ‘ilman. Meski secara umur lebih muda, namun ilmunya lebih luas dari saya,” ujar Romli mengawali diskusi.

Dalam presentasinya, Ulin Nuha Husnan mengatakan, metodologi tafsir penting untuk mengetahui makna Al-Quran. Penelitian ini berangkat dari beberapa temuan adanya inhirafat yang kalau dibiarkan akan berimplikasi kepada pemaknaan kitab suci itu sendiri.

“Padahal Al-Quran berbeda sama sekali dengan tafsir. Al-Quran itu universal yang melampaui ruang dan waktu. Sementara Tafsir itu nisbi. Meski nisbi, tetap saja ia harus memiliki parameter untuk mengukur kenisbian itu agar tidak melampaui batas,” ujar Ulin.

Abdul Moqsith Ghazali dalam penilaiannya menyatakan, tentu jika dicari kesalahan buku ini pasti banyak sekali apalagi ketika yang dikritik sudah dituliskan. Buku ini misalnya, menjelaskan adanya banyak kosakata dalam Al-Quran yang bukan bahasa Arab, misalnya, kaafuuraa, zanjabiilaa, firdaus, dan lain-lain.

Rekonstruksi penafsiran
Menurut Moqsith, buku tersebut berbicara mengenai al-dakhil fil Quran. Dari situ kemudian bergerak untuk merekonstruksi sebuah metodologi. Lalu tiba-tiba muncul hermeneutika.

“Saya menduga, penulis ingin lolos dari al-dakhil fil tafsiril Quran, tapi dia masuk ke al-dakhil fi qawaid wa manahij al-Quran. Sejak kapan hermeneutika punya otoritas punya mandat intelektual dipakai untuk menafsirkan Al-Quran. Hati-hati ini,” kritiknya.

Padahal, lanjut Moqsith, kita punya modal berupa karya para ulama untuk melakukan rekonstruksi metodologi terhadap penafsiran Al-Quran. Ada Usul al-Tafsir dan Qawaid Tafsir. Jadi, memasukkan perangkat metodologi dari luar perlu stamina luar biasa.

“Untungnya, para ulama kita zaman dahulu berani. At-Tabari misalnya, dalam Tafsirnya banyak muncul kisah Israiliyat. Mereka berani mengimpor informasi dari luar untuk membantu menjelaskan sesuatu yang tidak seluruhnya ingin dijelaskan dalam Tafsirnya,” terang Moqsith.

Sementara itu, Faried F Saenong menyebut selain kisah israiliyat ada juga maudhu’at dalam Al-Quran. Tafsir yang hanya menggunakan akal atau penafsiran yang diawali dengan skeptisisme. Menyikapi al-dakhil, Faried berpendapat, mau menolak atau menerima dipersilakan selama memiliki argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Selama bisa menjelaskan al-dakhil dengan baik, lanjut Faried, kenapa harus ditolak. Bagi dia, tidak perlu jauh-jauh ke ranah Tafsir, Al-Quran saja banyak dakhil-nya. Termasuk harakat dan aneka bacaan yang mungkin tidak sahih.

“Jadi, kompleksitas Al-Quran sangat panjang. Nggak cukup kita bahas di sini. Yang penting, jangan hanya kita bicara metodologi kritik tafsir, namun juga bicara kritik metodologi tafsir. Nah, dua-duanya jadi bersinggungan. Karena pada dasarnya yang dikritik adalah produk tafsir itu sendiri,” tandas Faried.

Hadir dalam diskusi tersebut, pembina utama Pesantren Bayt Al-Quran Habib Ali bin Ibrahim Assegaf dan para santri. Sementara peserta dari luar terdiri dari mahasiswa UIN Ciputat, Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran, dan Institut Ilmu Al-Quran Jakarta. (Musthofa Asrori/Abdullah Alawi)