Nasional

Alasan Tersangka Korupsi Dana Bansos Harus Dihukum Mati

Sen, 7 Desember 2020 | 23:34 WIB

Jakarta, NU Online

Pakar Hukum Asep Iwan Iriawan menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001, tersangka korupsi dana bantuan sosial (bansos) harus dihukum mati.

 

Di dalam ketentuan itu, disebutkan hukuman mati bisa diterapkan dalam kondisi tertentu, seperti penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

 

"Harus dimatiin (tersangka korupsi dana bantuan sosial)," tegasnya saat dihubungi NU Online pada Senin (7/12).


Pengajar hukum di sejumlah kampus di Jakarta itu mengatakan, kondisi pandemi lebih berbahaya dari sekadar bencana alam. Sebab, dampaknya dirasakan di seluruh penjuru negeri, tidak hanya bersifat lokal, bahkan global, seluruh dunia merasakan.


Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, yang masih berada di angka minus, menandai perekonomian negeri ini tengah mengalami krisis.

 


Hal lain yang mengharuskan pelaku korupsi tersebut dihukum mati adalah terbuktinya membuat kerugian negara. "Merugikan negara. Perekonomian kita guncang," ujarnya.


Asep juga menyebut bahwa para koruptor hanya menguntungkan pihak tertentu saja dan juga merupakan tindakan melawan hukum.


Menurutnya, para koruptor bersenang-senang dengan mengambil bagian dari bantuan, sementara ada ratusan juta orang menderita. "Apa lagi kalau bukan biadab? Layakkah hukumannya ringan?" tanyanya.

 


Pasal 2 ini, jelasnya, merupakan klausul kondisional sebagai bentuk ancaman pertama terhadap tindak pidana tersebut. Artinya, ia menegaskan bahwa pasal tersebut harus lebih didahulukan. "Gunakan dulu pasal itu. Pasal korupsi itu dimulai dari pasal 2," tegasnya.


Menurutnya, jika hanya diberlakukan Pasal 11 atau Pasal 12 terhadap para pelaku tersebut, bisa-bisa mereka akan mendapatkan keringanan, seperti remisi atau lainnya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin