Nasional

Alissa Wahid Sebut Gus Dur Kampiun Demokrasi di Masa Orba, Singgung Peristiwa Kedung Ombo

Sel, 9 Januari 2024 | 19:00 WIB

Alissa Wahid Sebut Gus Dur Kampiun Demokrasi di Masa Orba, Singgung Peristiwa Kedung Ombo

Alissa Wahid saat menyampaikan Orasi Demokrasi dalam Rakernas Gusdurian, pada November 2023 lalu. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid menyebut bahwa KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai kampiun demokrasi di masa Orde Baru (Orba). Alissa juga menyinggung perjuangan Gus Dur dalam Peristiwa Kedung Ombo. 


Menjadi seorang kampiun demokrasi, menurut Alissa, Gus Dur menghadapi tantangan yang sangat besar. Terlebih saat masa Orba, saat Soeharto mengadopsi pendekatan developmentalisme atau pembangunan dengan menggunakan angkatan bersenjata sebagai instrumen utamanya.


Alissa Wahid menjelaskan pada awal pemerintahan Presiden Soeharto, masyarakat yang baru saja mengalami krisis ekonomi pada 1965-1967, merasa dibawa kepada harapan dengan upaya pembangunan infrastruktur dan pertanian yang mengikuti program rencana pembangunan lima tahun (repelita).


“Tetapi semakin lama, untuk memuluskan agenda pembangunannya, Presiden Soeharto menggunakan pendekatan yang sangat representatif dengan ABRI, waktu itu TNI dan Polisi masih satu angkatan. ABRI itu betul-betul menjadi instrumen kekuasaan untuk mengatur kehidupan warga sipil,” ujar Alissa dalam Forum Demokrasi dan Peluncuran Garda Pemilu Gusdurian, Senin (8/1/2024) malam.


Presiden Soeharto menawarkan berbagai jenis pembangunan, tetapi pada waktu yang bersamaan, Soeharto semakin intensif menggunakan pendekatan bersenjata dalam agenda pembangunannya. Salah satu contohnya adalah kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah yang memicu perlawanan massal. Waduk Kedung Ombo mulai dibangun pada 1980 dan selesai pada 1991. 


Kala itu, Gus Dur berperan menggerakkan para pemuka agama dari berbagai latar belakang kepercayaan untuk tidak hanya memberikan khotbah, tetapi juga untuk mengonsolidasikan masyarakat sipil dan membentuk gerakan yang besar. 


“Waktu itu Romo Mangun dan Gus Dur menjadi pihak-pihak yang dianggap melawan pemerintah,” paparnya.


Pembangunan Waduk Kedung Ombo usir ribuan warga

Pembangunan waduk seluas 6.167 hektare ini mengusir 5.391 kepala keluarga atau sekitar 25.000 jiwa di 37 Desa dan 7 kecamatan pada tiga Kabupaten. Selain itu, pada proses pembangunannya telah menenggelamkan tanah milik warga, lahan-lahan pertanian, serta sejumlah situs sejarah, yang di antaranya adalah makam pahlawan Nyai Ageng Serang.


Isu lain juga muncul. Penduduk tidak menerima ganti rugi yang pantas. Mereka menolak pergi dari tempat tinggal dan enggan dipindahkan ke luar Jawa. Selain itu, ada banyak ketidakcocokan dalam pengumpulan data oleh tim yang bertanggung jawab atas pembebasan lahan, yang tidak sesuai dengan luas kepemilikan penduduk.


Padahal, penduduk telah menuntut penggantian lahan dengan ukuran yang sama seperti yang mereka miliki. Respon dari pemerintah Orba terhadap penolakan dan tuntutan penduduk tersebut dilakukan dengan tindakan yang keras, mengintimidasi, dan menakutkan.


Dari situlah, Gus Dur kemudian menggalang solidaritas sekaligus berani menggunakan privilesenya untuk melindungi warga dan para aktivis yang tengah melakukan perlawanan atas pembangunan Waduk Kedung Ombo itu. 


Terkait hal ini, dalam buku Biografi Gus Dur, Greg Barton menulis: “Gus Dur menyarankan agar sejumlah teman di Ornop (organisasi non-pemerintah) untuk menulis surat kepada Bank Dunia dan memberikan kepadanya garis besar rasa prihatin mereka dan meminta agar ia menunjukkan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengelola proyek-proyek seperti itu. Karena kritiknya ini, Gus Dur sampai dipanggil menghadap Soeharto dan dituntut minta maaf. Namun, Gus Dur bergeming.”