Nasional

Bagaimana Prospek dan Tantangan Fiqih Peradaban sebagai Solusi Krisis Tatanan Global?

Sel, 28 Maret 2023 | 16:45 WIB

Bagaimana Prospek dan Tantangan Fiqih Peradaban sebagai Solusi Krisis Tatanan Global?

Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional dengan tema “Prospek dan Tantangan Fiqih Peradaban Sebagai Solusi Krisis Tata Dunia Global” di Auditorium Prof Dr Suwito, Lantai Dasar Gedung Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan pada Senin (27/3/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)

Tangerang Selatan, NU Online

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Tsaquf mengungkapkan bahwa Piagam PBB tidak bertentangan dengan syariat. Dari segi isi semuanya sesuai dengan maqasidus syariah. Kemudian sah penandatanganannya karena melibatkan entitas politik yang secara de facto dan de jure bisa menjadi pihak dalam perjanjian


Hal tersebut diungkapkan oleh Gus Yahya saat menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional dengan tema “Prospek dan Tantangan Fiqih Peradaban Sebagai Solusi Krisis Tata Dunia Global” di Auditorium Prof Dr Suwito, Lantai Dasar Gedung Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan pada Senin (27/3/2023).


“Dari Piagam PBB itulah pertama kali ada kesepakatan untuk tidak meneruskan perang, konflik antar identitas. Maka di dalam Piagam PBB itu ada dua komponen penting, pertama tentang kesepakatan perbatasan untuk setiap negara. Sehingga suatu negara tidak saling menginvasi negara lain, dan ini sama sekali baru. Sebelum Piagam PBB itu, siapa saja boleh menginvasi. Komponen kedua yaitu kesetaraan martabat bagi seluruh umat manusia,” ujarnya.


Gus Yahya menyebut dari dua komponen tersebut muncul rangkaian asumsi kenapa hal tersebut diperlukan untuk mencegah konflik. Kemudian diangkat sebagai pertanyaan dalam Muktamar Fiqih Peradaban.


“Pertanyaan kami adalah sebagai perjanjian Internasional, apakah Piagam PBB itu sah menurut syariat. Nah, ini yang pertama. Itu kan perjanjian internasional, apakah sah menurut syariat, sah dari segi isinya, dari segi pihak-pihaknya, dan sah dari semua yang dilibatkan dalam perjanjian itu,” terang Gus Yahya.


Lebih lanjut Gus Yahya menceritakan pertanyaan yang diajukan dalam Muktamar Fiqih Peradaban yaitu apakah kepala negara yang menandatangani Piagam PBB itu sah sebagai wakil negara masing-masing termasuk umat Islam yang ada di negaranya, meskipun minoritas.


“Jadi kalau Indonesia tanda tangan Piagam PBB, presiden ini sah mewakili umat Islam Indonesia. Tetapi Jawahral Nehru waktu tanda tangan itu sah nggak mewakili umat Islam di India, Mao Zedong sah mewakili umat Islam di China? Begitu juga yang lain, Amerika, Eropa, dan lain-lain. Kepala-kepala negara ini yang punya warga negara Muslim, apakah ia sah menjadi wakilnya Islam?” tanya Gus Yahya.


Ia menjelaskan karena Piagam PBB punya konsekuensi terhadap Islam khususnya. Jika jawabannya sah, maka isi perjanjian mengikat baik kepada entitas-entitas politik maupun kepada pribadi Muslim di seluruh dunia. 


“Alhamdulillah kemarin di Muktamar Fiqih Peradaban jawabannya sah. Piagam PBB sah dari segi isinya karena tidak bertentangan dengan syariat, semuanya sesuai dengan maqasidus syariah. Kemudian sah dari penandatanganannya, karena melibatkan entitas politik yang secara de facto, maupun de jure bisa menjadi pihak dalam perjanjian yaitu negara bangsa,” jelas Gus Yahya.


Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kepala negara dari negara bangsa juga harus dianggap sah mewakili negaranya. Walaupun kepala negaranya mewakili Muslim atau sebaliknya.


“Wal hasil Piagam PBB sudah sah. Jadi titik tolak dari segala macam imperatif perdamaian, itu secara syariat adalah Piagam PBB. Karena kalau nggak ada itu, nggak ada landasannya apa-apa. Perjanjian ini harus diterima, karena annasu ala surutihim. Karena itu kaidahnya, itu dari hadits Rasulullah. Orang itu harus taat kepada syarat-syarat yang dia minta sendiri dalam perjanjian dengan pihak lain,” ungkapnya.


Gus Yahya mengungkapkan persoalannya sekarang bahwa isi dari Piagam PBB yang diecetuskan tahun 1945 lebih bersifat visioner, yaitu lebih bersifat visi. Walaupun belum bisa sepenuhnya visi tersebut diterapkan, tetapi tetap harus diarahkan ke dalam visi itu. Misalnya pada tahun 1947 NICA mau mengambil Indonesia. Lalu Amerika sebagai inisiator Piagam PBB, namun undang-undang diskriminatif  di Amerika masih bertahan legal sampai tahun 60-an.


“Tetapi yang penting adalah bahwa dalam perspektif Islam ini sekarang sudah ada landasan syariat tentang kenapa kita tidak boleh bermusuhan dengan kelompok yang berbeda yaitu perjanjian ini. Nah, harapannya adalah ke depan bahwa wawasan yang terkait ini akan bisa dikembangkan lebih lanjut, dan dijabarkan ke dalam berbagai macam produk akademik yang kita perlukan. Termasuk di dalamnya bahan-bahan ajar untuk anak kita,” pungkasnya.


Kemudian Dekan Fakultas Studi Islam Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Noorhaidi Hasan menyampaikan bahwa ada harapan Hak Asasi Manusia berkembang lebih di negara Islam, meskipun sampai sekarang masih ada semacam reservasi.


"Okelah HAM diterima, asal sesuai dengan syariat Islam. Di antara reservasi ini juga coba diatasi dengan Deklarasi Kairo, tetapi Deklarasi Kairo agak problematik menurut saya. Tidak mengatasi akar persoalan," ujarnya.


Lebih lanjut ia mengatakan bahwa problem lainnya di dunia Islam di samping stagnasi pemikiran keagamaan, juga fiqih yang tidak kontekstual. Bukan hanya status kafir, tetapi juga status murtad, kelompok minoritas, dan kedudukan perempuan. Oleh karena itu, perlu adanya reaktualisasi, dan rekontekstualisasi fiqih.


"Reaktualisasi ini kan di Indonesia sebenarnya sudah berdengung sejak tahun 1990-an. Munawir Sjadzali dalam konteks yang mendefinisikan tentang pembagian warisan bagi laki-laki, dan perempuan. Tetapi Gus Yahya menurut saya lebih berani lagi masuk ke jantung persoalan tentang pembagian kategori Muslim, dan non-Muslim, yang bagi beliau merupakan akar persoalan," jelasnya.


Ia menjelaskan bahwa dengan membongkar konsep-konsep dasar tersebut akan terbuka bagaimana Islam menerima Hak Asasi Manusia sebagai sebuah hukum universal yang harus diikuti tanpa mempedulikan agama. Karena hidup dalam konteks negara bangsa.


"Saya percaya bahwa fiqih peradaban yang digagas oleh Gus Yahya melengkapi, dan menyempurnakan upaya-upaya rekonsiliasi fiqih. Kemudian walaupun hanya menjawab satu isu kompleks dalam wacana keislaman. Namun, ini bisa diperluas termasuk masalah riddah, minoritas non-Muslim, bisa juga diperluas tentang hukum pidana dalam Islam, kemudian soal kesetaraan gender, perlindungan anak, dan lain-lain," pungkasnya.


Sementara itu, Guru Besar Universitas Pelita Harapan (UPH), Aleksius Jemadu menyampaikan bahwa peran agama sebetulnya lebih dari sekedar instrumen untuk memperlancar kontrol agama. Agama memperjuangkan nilai-nilai yang bersifat hakiki, seperti perdamaian, kesetaraan, dan berbagai kebijakan moral demokrasi dan peradaban dalam tata dunia global.


"Itu tidak bisa disederhanakan begitu saja kepada institusi, atau sistem negara modern, dan peran perangkat kelembagaannya. Solusi isu-isu penting perdamaian dunia, perubahan iklim, pengentasan kemiskinan, resolusi konflik, dan tatanan global yang lebih adil. Maka koreksi tidak bisa diharapkan hanya datang dari sistem dalam negara itu sendiri, harus ada koreksi luar. Dari mana datangnya koreksi dari luar itu? Global Civil Society Network termasuk ormas keagamaan seperti NU," ujarnya.


Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama menjadi pilar utama harmonisasi tiga hal unik di Indonesia yaitu modernity, kesalehan beragama, dan demokrasi untuk membangun peradaban yang berkemanusiaan,  prinsip kesetaraan dalam demokrasi.


"Kombinasi harmonisasi tiga hal di Indonesia, modernity, kesalehan beragama, dan demokrasi dalam dua dekade terakhir di Indonesia telah mampu memodifikasi hal itu. Nah, keberhasilan itu tidak bisa lepas dari peran strategis NU, dan para pemimpinnya," ungkapnya.


Selanjutnya Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menyampaikan bahwa meskipun NU tidak berpolitik praktis, tetapi perlu melakukan politik moral. Caranya yaitu literasi umat perlu ditingkatkan dalam semua bidang khususnya pendidikan, dan pemerintahan politik tentang ketatanegaraan.


"Salah satu tugas besar NU adalah mendorong bangsa atau umat untuk mendorong sistem praktik politik yang berkeadaban dan berkeadilan. Ini masalah besar, karena sulit dinafikan sistem dan praktik politik Indonesia semakin menjauh dari sistem politik Pancasila," ujarnya.


Ia mengatakan untuk menjawab permasalahan tersebut perlu membangun sinergi dengan ormas keagamaan Islam yaitu dengan mengimplementasikan fiqih peradaban untuk mewujudkan suatu masyarakat yang harmoni dan memiliki kepedulian.


"Persoalan yang dihadapi Indonesia semakin kompleks. Mulai dari ketimpangan ekonomi, hingga masalah hubungan kurang harmonis antar anak bangsa yang semakin terasa. Untuk itu Bangsa Indonesia seyogyanya tidak berpikir secara linier, tetapi secara lateral untuk bisa melakukan terobosan-terobosan atau inovasi yang mempercepat terwujudnya cita-cita bangsa menuju keadilan, dan kemakmuran bersama," paparnya.


Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ali Munhanif mengatakan bahwa hampir semua negara Islam mengalami problem krusial yang intinya adalah ketidakmampuan menjelaskan rekonsiliasi antara agama, dan negara. Tetapi harus optimis bahwa bahwa negara bangsa di dunia termasuk di dalamnya negara tersebut ada agama Islam  akan menerima norma internasional.


"Kita juga harus optimis, bahwa semakin lama negara-negara bangsa di dunia termasuk negara berkembang di dalamnya ada Islam. Itu makin lama menerima norma internasional bahwa satu-satunya sistem menjamin konstitusi civil society, yang bisa menjamin freedom adalah negara bangsa, dan demokrasi," ujarnya.


Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Fiqih Peradaban  bisa menjadi pelengkap, menyempurnakan problem-problem ketidakselesaian antara Islam, Negara, dan Demokrasi dalam satu paket. Bahwa masyarakat agama mempunyai cara berpikir sendiri untuk mengambil pilihan-pilihan hidup dalam sebuah negara bangsa.


"Sumbangsih terpenting dari fiqih peradaban adalah merespon berbagai gejolak dengan isu-isu yang sangat baru, kekerasan global, gender, lingkungan hidup, dan seterusnya. Saya kira ini menjadi bagian unik dalam perkembangan pemikiran Islam di dunia ini," pungkasnya.


Kontributor: Malik Ibnu Zaman

Editor: Fathoni Ahmad