Nasional

Begini Proses Hukuman Mati menurut Ahli Pidana

Rab, 4 Januari 2023 | 16:40 WIB

Begini Proses Hukuman Mati menurut Ahli Pidana

Hukuman mati adalah hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan atau tanpa pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat untuk seseorang akibat perbuatannya. (Foto: ilustrasi/freepik)

Jakarta, NU Online

Hukuman mati kini menanti Herry Wirawan pemerkosa 13 murid di Bandung Jawa Barat setelah pengajuan kasasinya di tolak Mahkamah Agung, pada Selasa (3/1/2022). Meski hukuman mati bukan lagi menjadi hal baru di Indonesia, pro dan kontra masyarakat masih menghiasi setiap terpidana mati akan dieksekusi.


Lantas bagaimana pelaksanaan hukuman mati di Indonesia?


Ahli Pidana Setya Indra Arifin menjelaskan, pidana mati telah dikenal sejak zaman kolonial. Hukuman mati adalah hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan atau tanpa pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat untuk seseorang akibat perbuatannya. 


"Nah, dalam hal ini Herry Wirawan telah melakukan perbuatan yang memang merugikan terhadap anak-anak sebagai generasi penerus bangsa," jelas Indra kepada NU Online, Rabu (4/1/2022).


Indra mengatakan, bila merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ketentuan Pasal 10 tegas menyatakan bahwa hukuman mati merupakan salah satu dari hukuman pokok.


"Hukuman mati itu ada di poin satu, jadi hukuman terberat," ucapnya. 


Sedangkan untuk pelaksanaan eksekusi hukuman mati, jelas Indra, diatur dalam Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer dan tata pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Kapolri No.12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.


Berikut tata cara pelaksanaan hukuman mati berdasarkan UU Nomor 2/PNPS/1964: 


1. Diberitahukan 3 hari sebelum eksekusi

Sebelum dilaksanakannya eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan kepada terpidana, terpidana wajib mengetahui mengenai rencana pelaksanaan tersebut. Terpidana harus diberitahu tiga hari sebelum hari H pelaksanaan eksekusi. Ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 2/PNPS/1964.


"Tiga kali 24 jam sebelum eksekusi, jaksa memberitahukan terpidana tentang rencana hukuman mati. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan," jelas Indra. 


2. Dilakukan oleh regu penembak
Regu penembak tersebut, papar Indra, terdiri atas seorang Bintara, 12 orang Tamtama, dan dipimpin oleh seorang Perwira. Regu penembak ini berada di bawah perintah Jaksa Tingi/Jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan ekseksusi sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.


"Itu semua dilakukan di bawah perintah Jaksa Eksekutor. Dalam konteks eksekusi itu Jaksa Eksekutor menyurati Polda, sebagai institusi yang memiliki regu tembak," paparnya. 


3. Permintaan terakhir

Selanjutnya, ia mengungkapkan bahwa setiap terpidana mati diberikan hak untuk mengemukakan sesuatu (permintaan terakhir) kepada jaksa agung atau jaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 2/PNPS/1964. Permintaan itu diterima oleh Jaksa Agung/Jaksa.


"Dalam beberapa kasus, permintaan terakhir terpidana ini bermacam-macam, di antaranya ada yang minta bertemu keluarga, sementara keluarganya di luar sana sakit sehingga minta waktu dan permintaan ini harus dipenuhi," ungkapnya.


"Ada juga yang meminta untuk bisa menghadiri pernikahan anaknya atau menunggu sampai anaknya menikah," sambung dia. 


4. Dihadiri pihak tertentu
Dalam eksekusi, lanjut Indra, selain regu penembak, yang diperbolehkan hadir dalam ekseksusi hukuman mati berdasar Pasal 8 UU Nomor 2/PNPS/1964 adalah pembela terpidana. Atas permintaan pembela atau atas permintaan terpidana, pembela dapat hadir dalam pelaksanaan hukuman mati yang dijatuhkan kepada kliennya.


"Misalnya, permintaan untuk menghadirkan rohaniawan. Itu biasanya dilakukan sebelum eksekusi mati itu dilaksanakan," terang dia. 


"Biasanya dihadiri oleh dokter juga, untuk memberitahukan letak jantung sebagai titik tembak utama," lanjutnya. 


Tiga hal di atas, kata Indra, membuktikan bahwa hukuman mati ditetapkan berdasarkan Undang-Undang dan mengedepankan martabat kemanusiaan. 


"Jadi, intinya pidana mati itu sama sekali tidak bertentangan dengan UU Dasar dan HAM, karena dilakukan untuk kepentingan yang lebih besar dan dilakukan dengan cara-cara yang mengedepankan HAM," pungkasnya. 

 

Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Kendi Setiawan