Nasional SULUK MALEMAN

Belajar dari Bocah Kesurupan: Jangan Mudah Menghakimi!

Ahad, 22 Januari 2017 | 14:49 WIB

Belajar dari Bocah Kesurupan: Jangan Mudah Menghakimi!

Pertujukkan Komunitas Lima Gunung Magelang dalam Suluk Maleman “Bukan Bangsa Kemarin Sore"

Pati, NU Online
Ada anak kecil yang kesurupan. Tubuhnya dimasuki jin atau sejenis makhluk halus. Oleh orang-orang kampung anak itu dipeluk erat. Tubuhnya disiram air, pipinya dipukul dengan tujuan agar jin itu keluar dari tubuh anak. Dibacakan macam-macam doa. Tetapi jin yang masuk dalam tubuh si anak itu tidak mau keluar juga. Akhirnya karena sudah lelah orang-orang bersepakat menanyai si jin yang menempel dalam tubuh si anak. “Jin, mengapa kamu merasuki anak ini, apa dosanya? Apa dia berbuat salah terhadapmu?”

Rupanya pertanyaan itulah yang ditunggu-tunggu oleh si Jin. Dari tadi dia tidak ditanya tetapi langsung dipukul, disiram air dan segala perbuatan tidak jelas yang lain. Si Jin menjelaskan: “Begini, tadi anak kecil ini jalan sendiri di pinggir jalan raya. Daripada dia salah jalan, atau turun ke jalan raya dan mendapat kecelakaan, tertabrak mobil misalnya, lebih baik saya rasuki.” Begitu keterangan si Jin. Setelah itu Jin itu keluar dari tubuh si anak kecil.

Apa hikmah yang dapat kita ambil dari cerita ini? Selama ini kita sering berbuat, menuduh, menghujat, memaki-maki, marah-marah terhadap suatu hal tanpa mengetahui persoalannya. Kita tidak memiliki kesediaan untuk sekeaar mengajukan pertanyaan “mengapa?” apa yang terjadi dan lain sebagainya.

Cerita itu disampaikan oleh Anis Sholeh Ba’asyin dalam forum Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia Jalan Diponegoro 94 –Pati, Jawa Tengah, yang berlangsung pada Sabtu (21/1) hingga Ahad (22/1).  Tema yang diangkat adalah “Bukan Bangsa Kemarin Sore”.

Apa yang diceritakan oleh Anis itu untuk merespon keadaan hari-hari ini di mana orang-orang gampang sekali menghakimi orang lain. Penghakiman itu membagi kelompok menjadi dua yaitu kelompok malaikat dan kelompok setan, dan tidak ada manusia. Padahal, kita harus memiliki kesadaran bahwa dalam diri orang lain dan diri kita ada sisi baik dan sisi buruk.

Senada dengan yang disampaikan oleh Anis, KH. Yusuf Chudlori mengatakan bahwa bagi  para ulama, yang namanya perbedaan itu suatu hal yang biasa dan sudah terjadi sejak dahulu kala. Kiai Hasyim Asy’ari juga kadang-kadang berbeda pendapat dengan Kiai Wahab dan Kiai Cholil. Yang kemudian menjadi persoalan pada era media sosial sekarang ini adalah kementator-komentator. Para komentator yang tidak tahu apa-apa dan ikut komentar.

Menanggapi apa yang diungkap Gus Yusuf, panggilan akrab KH. Yusuf Chudlori, Anis mengimbau untuk tidak semua ikut komentar dan ikut menilai ketika terjadi suatu hal. Cukup orang-orang yang memiliki ilmu di bidangnya saja yang menjawab agar tidak terjadi kekisruhan. “Jika tidak paham lebih baik diam.” Begitu kata Habib Anis. “Jangan mencari pangung di atas persoalan,” tambah Habib.

Tema “Bukan Bangsa Kemarin Sore” ini sebenarnya untuk menanggapi sebuah ramalan di sementara kalangan yang mengatakan bahwa dalam dua tiga tahun ke depan negara yang berpotensi hancur adalah Indonesia dan Arab Saudi. Arab karena rajanya sudah tua dan akan meninggal, suksesi itu diramalkan akan memporakporandakan Arab. Kedua, negara yang diramalkan hancur adalah Indonesia dengan alasan potensi perpecahan horizontal demikian terbuka dan dapat dilihat sekarang ini. Konflik itu mulai konfilk agama, mulai disulut lagi konflik daerah, adat, dan lain sebagainya. Menurut Anis, bangsa Indonesia bukan bangsa kemarin sore, dengan pertolongan Allah, bangsa dan negara Indonesia akan mampu menyelesaikan persoalannya.

Asal, tentu saja ada syaratnya, ada langkah-langkahnya. Dan menurut Gus Yusuf langkah-langkahnya adalah menyerap ilmu dari leluhur. Belajar pada warisan yang diberikan oleh para pendahulu. Warisan dari para pendahulu itu salah satunya kesantunan, tawadhu, hormat pada orang lain. Dalam kesempatan itu Gus Yusuf bercerita tentang banyak hal, tentang ketawadu’an Kiai yang tidak menepuk dada merasa dirinya paling pandai.

Terkait derasnya arus hoax, Sutanto Mendut, presiden Komunitas Lima Gunung, menyebutkan bahwa dampaknya sudah banyak membuat pola pikir masyarakat berubah. Saat ini banyak yang melihat hanya dari penampilan bukan dari substansi, akhlak, atau cara berpikirnya.

“Kalau mungkin anjing diberi tampilan kambing, mungkin orang akan benar­-benar menilainya sebagai kambing. Karena penampilan lah yang terpenting,” ujar Tanto.

Hal itupun begitu terlihat dengan banyaknya praktik perawatan wajah atau kulit, atau bisnis yang mengedepankan tampilan lainnya. Sedangkan praktik pendidikan akhlak justru banyak ditinggalkan.

“Seperti dalam memandang orang bekas maling, banyak yang masih menilainya buruk. Padahal seburuk-buruknya maling pasti ada sisi kebaikan di dalamnya,” tambahnya.

Dirinya hal itu justru membuat manusia mudah menjadi orang yang terlalu mudah menghakimi. Padahal hakim saat memutuskan sekalipun harus memiliki ketepatan baik dari segi hukum, bukti maupun saksi. Ada kebijakan didalamnya.

Gus Yusuf dari Magelang bahkan menyebut, saat ini banyak yang sudah kebablasan dalam memanfaatkan tekhnologi. Bahkan dirinya menemui banyak yang berani menyebarkan foto hoax para kyai sepuh. Ironisnya di foto itu dituliskan dengan caption yang tidak benar.

“Tidak sekedar menyebar kebencian bahkan seperti ada upaya memutus kiai dan santrinya, guru dan muridnya,” terang Gus Yusuf.

Padahal dirinya mengingatkan jika menyebar berita hoax maka penyebar itu harus siap ikut mendapatkan dosa dari berita bohong yang disebarkannya itu. Namun jika bisa berlaku sebaliknya. Yakni menyebarkan suatu kebaikan dan kedamaian penyebar justru bisa mendapat pahala yang serupa dengan penulisnya.

“Inilah yang patut diwaspadai. Tekhnologi memang bisa mendekatkan yang jauh namun juga menjauhkan yang dekat,”tambahnya.

Dirinya menilai jika rakyat Indonesia mau berbagi sedikit saja maka Indonesia akan makmur. Termasuk berbagi kebenaran itu sendiri. Sehingga kebenaran tidak selalu menjadi milik sendiri.

Memungkasi diskusi, Anis Sholeh Baasyin menambahkan, untuk menghadapi zaman yang seperti saat ini kembali pada kyai adalah langkah yang tepat. Karena dari kyai kita tidak sekadar belajar ilmu teks maupun kitab, namun juga belajar dari teladan dan hidup dari kyai itu sendiri.

“Coba kita lihat, saat ini justru banyak santri yang meninggalkan kyai. Terkadang kita pakai baju Islam tapi tidak berkahlak Islam,”tambahnya.

Penggagas Suluk Maleman itupun menambahkan, tidak semua permasalahan menjadi menjadi fardlu ‘ain untuk dijawab tapi kadang ada juga yang menjadi fardlu kifayah. Jangan sampai reaktif dalam menjawab apapun yang tidak dipunyai ilmunya.

“Jawablah mereka dengan cara yang baik atau diam. Jangan mengedepankan emosi,” tuturnya.

Bahkan terkait fenomena banyaknya perdebatan di media sosial justru dinilainya menjadi hal yang patut dipertanyakan. Apakah debat itu benar-benar untuk menunjukkan kebenaran dan kepercayaannya atau justru hanya mencari pengakuan atas eksistensi masing-masing.

Topik yang menarik itu pun mampu membuat ratusan orang terhanyut dalam diskusi Suluk Maleman tersebut. Apalagi diskusi kali ini diramaikan juga dengan pertunjukkan Komunitas Lima Gunung dari Magelang, juga tampilan Sampak GusUran. (Red: Mahbib)