Nasional

Belajar Mengampuni dari Suku Baduy

Ahad, 30 September 2018 | 14:45 WIB

Belajar Mengampuni dari Suku Baduy

Warga Baduy, Banten

Rangkasbitung, NU Online
Di tengah tingginya tensi politik identitas yang mulai memberangus kerukunan masyarakat, kata 'maaf' menjadi barang langka. Perbedaan pandangan dan keyakinan kerap dimaknai sebagai pancingan untuk peperangan. 

Sementara itu, penganut kepercayaan lokal seperti yang ditunjukkan oleh warga suku Baduy yang ada di Desa Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten, tetap teguh pada ajaran utama: menjadi manusia.

Dalam sebuah obrolan ringan bersama rombongan Peace Train pada Sabtu (29/9), Jero Saija, warga Baduy yang juga menjadi kepala desa, menjelaskan bahwa warga Baduy sangat menjaga keseimbangan, bukan saja dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam yang menghidupi mereka.

Soal dosa atau kesalahan yang tak terampuni, Jero Saija menyebut warga Baduy selalu bisa memaafkan. Karenanya, tak ada dosa yang tak terampuni. Warga Baduy percaya tak ada guna menyimpan marah dan dengki. Hidup hanya sekali, tak sepatutnya diisi benci.

Meski tak begitu akrab dengan istilah toleransi, warga Baduy tahu betul cara menghargai perbedaan. Sebagaimana dijelaskan oleh Ayah Mursyid, tokoh dari kampung Cibeo, wilayah Baduy Dalam, warga Baduy diajari untuk menerima apa pun pemberian Tuhan. Jangankan untuk memusuhi, mengubah bentuk tanah saja mereka tak berani.

Sepanjang obrolan di malam itu, rombongan Peace Train angkatan ketujuh ini mendapat banyak pelajaran penting, terutama untuk selalu sadar bahwa apa pun agama dan budaya yang menempel dan turut membentuk identitas kita, kita semua manusia.

Dari mereka, kita bisa belajar pula bahwa benci dan dengki adalah penyakit yang menggerogoti hati, tak perlu disimpan atau bahkan dikembangkan; buang jauh hingga lepas dari ingatan. Dan sebesar apa pun kesalahan atau dosa yang orang lain pernah lakukan, tak ada alasan untuk tidak memaafkan.

Maafkan, namun jangan dilupakan, agar bisa menjadi pelajaran. (Anam/Kendi Setiawan)