Nasional

Berkurangnya Rasa Persaudaraan Picu Perundungan di Pesantren

Kam, 8 September 2022 | 08:00 WIB

Berkurangnya Rasa Persaudaraan Picu Perundungan di Pesantren

Wakil Ketua PP RMI PBNU, KH Hodri Ariev . (Foto: Tangkapan layar Youtube)

Jakarta, NU Online

Wakil Ketua PP Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) PBNU, KH Hodri Ariev menengarai adanya kejadian perundungan hingga penganiayaan di pondok pesantren tertentu disebabkan berkurangnya rasa persaudaraan. Pandangan dan prinsip untuk menyayangi yang lebih muda, menghormati yang lebih tua yang dulu menjadi pegangan di masyarakat, tidak lagi diamalkan.


"Di beberapa pesantren, usaha untuk membuat santri bersaudara dengan yang lain biasa dilakukan pada masa orientasi," kata Kiai Hodri Ariev dalam wawancara dengan NU Online, Rabu (7/9/2022) malam.


Kiai Hodri mengatakan masa orientasi santri untuk mengenalkan satu sama lain hingga tumbuh rasa persaudaraan. Namun itu juga terkait dengan tradisi atau kebiasaan yang dibawa oleh anak-anak yang masuk pesantren.


Masyarakat sekarang, menurut Kiai Hodri cenderung permisif dan individualis. “Saya tidak mengatakan ini baik atau buruk. Tetapi kecenderungan sekarang ini seperti itu (permisif dan individualis), sehingga anak-anak ketika masuk ke pesantren mereka membawa serta rasa individualis,” ujarnya.


Bullying dulu nyaris tidak ada karena mungkin perilaku orang tua, lingkungan masyarakat di situ cenderung tidak permisif. Perilaku perundungan sebagai masalah bersama bukan hanya masalah orang tua dan anak tetapi bersama di masyarakat sehingga mereka saling mengingatkan,” beber Pengasuh Pesantren Bahrul Ulum, Karangharjo, Silo, Jember Jawa Timur ini.


Anak-anak yang terbiasa individualis dan permisif, lanjut Kiai Hodri akan berkelompok dengan anak-anak yang sepemikiran.


“Ketika mereka menemukan hal yang tidak cocok atau tidak mereka sukai, mereka bukan tidak mungkin kemudian melakukan bullying baik secara lisan atau secara tindakan,” lanjutnya.


Latar belakang santri dalam hal gaya hidup juga sangat berpengaruh. Santri yang semasa di rumah atau lingkungannya cenderung eksklusif kemudian hanya akrab dengan gawai, cenderung memiliki sifat tertutup. Mereka mungkin mudah tersinggung ketika ada hal-hal yang tidak mereka sukai.


"Nah, di gadget mereka bisa mengendalikan semuanya. Yang mereka tidak suka tinggal close dan selesai. Di pergaulan nyata itu tidak mungkin,” kata alumnus Pesantren Annuqyah Sumenep itu.


Menurutnya, gawai memang sangat besar manfaatnya, namun juga sangat besar potensi mudharatnya.


Karena itu, menurut Kiai Hodri, jika ada kasus perundungan di pesantren, harus dilihat bahwa masalah ini bukan berdiri sendiri. “Mesti dilihat anak-anak berasal dari mana saja, baru bisa menyelesaikan masalahnya lebih komprehensif. Bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab para guru atau kiai dan ustadz, tetapi tanggung jawab bersama,” tegasnya.


Sebelumnya Kiai Hodri mengaku prihatin dengan adanya kasus perundungan dan penganiyaan di pesantren. Namun ia menegaskan bahwa tidak di semua pesantren terjadi kasus tersebut, sehingga tidak dapat digeneralisasi bahwa semua pesantren buruk.


Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Muhammad Faizin