Cirebon, NU Online
Budayawan Zastrouw Al-Ngatawi mengatakan, Islam Nusantara hanya istilah yang dipakai Nahdlatul Ulama untuk menyebut strategi kebudayaan para wali dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang berpusat di tajug atau masjid.
“Islam nusantara itu strategi kebudayaan para wali. Jadi kalau ada orang yang bilang Islam Nusantara itu pemecah belah, berarti orang itu gak paham. Jika ada orang yang bilang Islam Nusantara itu agama baru, orang itu bodoh,” kata Zastrouw pada Halaqah Masjid Kesultanan dan Dakwah Islam Rahmatan lil Alamin di Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (20/10) melalui tayangan video.
Menurut pimpinan grup musik religi Ki Ageng Ganjur ini, ada empat strategi kebudayaan yang digunakan para wali dalam menyebarkan ajaran Islam di Nusantara ini.
Pertama, strategi vernakularisasi. Menurutnya, strategi ini mengambil inti atau saripati dari ajaran Islam yang ada di Al-Qur’an dan Hadits, yang kemudian dibahasakan ulang ke dalam bahasa lokal sehingga dapat dipahami oleh masyarakat Nusantara.
Bagi Zastrow, amanat Sunan Gunung Jati Cirebon yang berbunyi ‘Ingsun titip tajug lan fakir miskin’ ini salah satu contoh dari strategi vernakularisasi. Tajug merupakan tempat yang menjadi pusat ajaran agama Islam dalam mengembangkan Al-Qur’an dan hadits.
“Jika langsung menitipkan Al-Qur'an dan Hadis, Orang Cirebon tidak akan paham karena menggunakan bahasa Arab, sementara Orang Cirebon menggunakan bahasa Jawa dan sebagian Sunda, makanya yang dititipkan Tajug sebagai tempat pembelajaran Al-Qur’an dan hadits,” ucapnya.
Adapun amanat menjaga fakir miskin, sambung Zastrow, agar masyarakat menjalankan perintah yang ada dalam Al-Qur’an. "Jika Anda hanya membutuhkan Al-Qur'an, nanti orang fakir dan miskin dilupakan, tapi jika Anda mengurusi orang fakir dan miskin, pasti melakukan Al-Qur'an. Inilah metode vernakularisasi,” ucapnya.
Kedua, strategi infiltrasi. Prinsip dari strategi ini dengan memasukkan nilai-nilai dan ajaran Islam ke dalam format kebudayaan, seperti pada upacara sedekah laut yang tidak bertentangan dengan syariat karena telah dimasuki ajaran-ajaran Islam.
Ketiga, strategi rekonstruksi. Dalam menjalankan strategi itu, berbagai kebudayaan dan tradisi seperti wayang dan gamelan direkonstruksi.
Keempat, strategi hikmah. Strategi ini menjunjung kearifan dalam menerapkan syari’at Islam, seperti yang dipraktikkan oleh Sunan Kudus yang menganjurkan umat Islam untuk tidak menyembelih sapi disebabkan untuk menghormati pemeluk agama Hindu. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)