Nasional

Bukan Cadar, Cegah Radikalisme Dimulai dari Pembatasan Kekerasan Verbal

Ahad, 3 November 2019 | 03:00 WIB

Jakarta, NU Online
Cadar tidak selamanya berkaitan dengan perkara radikalisme, karena tidak ada hubungannya. Keinginan pemerintah untuk memberantas radikalisme harus dimulai dengan membatasi kekerasan verbal, termasuk dukungan terhadap kekerasan.
 
"Kita itu, yang harus diatasi adalah ketika seseorang atau sekelompok orang pemerintah mendukung kekerasan. Gak peduli alasan agama atau ideologi lain. Dibenarkan membatasi orang," kata Alamsyah M Dja’far, Peneliti Wahid Foundation, kepada NU Online pada Sabtu (2/11).
 
Pemerintah juga, menurutnya, boleh menangani penceramah yang terbukti melakukan kekerasan verbal atau dukungan terhadap kekerasan. Jadi, lanjutnya, orang tidak boleh bersembunyi di balik alasan agama.
 
Selain itu, Alam juga menyampaikan bahwa cara menangani radikalisme yang masih tumbuh itu harus dengan partisipasi dari para pemilik kantor, pimpinan kantor tersebut, HRD, dan juga masyarakaat umum.
 
Jika di masjid ada pengajian yang isinya dukungan terhadap kekerasan verbal, misalnya ia mencontohkan, itu bisa dilaporkan kepada polisi atau pemilik gedung tersebut. hal ini, menurutnya, bukan dalam rangka melarang hak orang untuk mengikuti pengajian atau melarang pengajiannya, karena yang dibatasi dalam hal ini adalah kekerasannya, bukan pengajiannya.
 
Di samping itu, peningkatan kapasitas, sosialisasi, dan pelatihan dari pemerintah bagi para awak rumah ibadah ataupun para pegawai juga harus dilakukan bersama. "Harus ada gerakan bersama peningkatan kapasitas dan sosialiasi dan pelatihan dari pemerintah untuk meningkatkan gerakan rumah ibadah dan perkantoran. Termasuk pihak swasta juga punya kewajiban," katanya.
 
Hal tersebut mengingat faktor radikalisme yang terjadi di masyarakat menengah kota perkantoran. Menurutnya, campuran dari berbagai macam faktor bisa jadi yang membuat mereka teredakalisasi mengingat setiap orang bisa saja berbeda jalan, seperti trauma, diskriminasi, dan sebagainya.
 
Namun, Alam menggarisbawahi bahwa yang paling sering muncul dalam sejumlah riset karena intensitas sering terpapar informasi narasi kebencian terhadap kelompok lain. "Jadi, menurut saya, untuk orang menjadi radikal ada prosesnya," kata pria yang pernah menjadi Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat itu.
 
Alam juga menyampaikan bahwa radikalisme dan intoleransi adalah dua hal yang berbeda. Intoleransi, jelasnya, adalah sikap yang tidak menghargai atau tidak mendukung hak dasar orang lain yang belum tentu menggunakan kekerasan, sementara radikalisme mendukung atau bahkan sudah menggunakan kekerasan. "Ketika keduanya disamakan sehingga keliru diagnosisnya," ucapnya.
 
Orang-orang yang melakukan ujaran kebencian, menurut dia, belum tentu radikal. Dalam studi radikalisme, pertama proses radikalisasi di mana dia memang terpapar setuju dengan gagasan radikal, tetapi belum melakukan persiapan. Berbeda jika sudah mempersiapkan mobilisasi yang sudah persiapan radikal. Hal terakhir itu, menurutnya, bisa dilakukan tindakan hukum.
 
"Misalnya kalau sudah melatih diri melakukan serangan. Ada bentuk-bentuknya radikalisasi misalnya hate speech (ujaran kebencian) bisa ditangani oleh pemerintah melalui aturan larangan hate speech," pungkasnya.
 
 
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan