Nasional

Cegah Korupsi, Sudah Saatnya Pesantren Perbaiki Tata Kelola Keuangan

Rab, 24 Agustus 2022 | 16:15 WIB

Cegah Korupsi, Sudah Saatnya Pesantren Perbaiki Tata Kelola Keuangan

Aktivis Antikorupsi Muhammad Idris Masudi. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online 
Tata kelola keuangan/administrasi menjadi salah satu bagian penting bagi pesantren mencegah terjadinya korupsi di tubuh lembaganya. 


Hal ini disampaikan oleh Aktivis Antikorupsi Muhammad Idris Masudi saat ditemui NU Online di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, pada Rabu (24/8/2022).


Menurutnya, meskipun pesantren dinilai sebagai tempat yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Namun pesantren juga rentan terindikasi praktik korupsi, salah satunya karena sistem tata kelola keuangan yang belum rapi.


“Pada dasarnya nilai-nilai antikorupsinya itu sudah tertanam baik di pesantren. Seperti kejujuran, amanah, dan lainnya. Tapi ada satu hal yang perlu diperhatikan oleh pesantren, yakni modus korupsi itu semakin berkembang,” terang dia.


Pengurus Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) itu juga mengatakan bahwa tata kelola keuangan pesantren ini merupakan persoalan yang serius. Dalam konteks pesantren NU, Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) berwenang mengatur ini.


“Saya kira ini memang persoalan yang serius yang seharusnya dilakukan oleh RMI dalam pandangan pesantren-pesantren di NU,” kata dia.


Selain merespons isu moderatisme, radikalisme, dan beragam isu lain, menurut Idris, RMI juga harus mengagendakan sosialisasi tentang penataan keuangan/administrasi pesantren.


“Jadi salah satu isu penting yang harus direspons dan harus diagendakan oleh RMI itu selain soal isu moderatisme, isu radikalisme dan lain-lain, salah satunya adalah isu tata kelola keuangan,” tuturnya.


Untuk itu, ia berharap RMI PBNU dapat menyosialisasikan tahapan-tahapan pesantren dalam menerima bantuan dari pemerintah atau sumber-sumber lainnya.


“Saya sangat berharap RMI dapat menginisiasi untuk mengadakan sosialisasi bagaimana cara membuat laporan, cara menerima bantuan, dan bagaimana memfilter bantuan, itu semua harus dijelaskan kepada para pemangku pesantren,” jelas Wakil Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU (2015-2020) itu. 


Hal itu penting dilakukan karena banyak sekali pesantren yang dalam pandangannya belum cukup “siap” untuk mendapatkan bantuan dari negara. 


“Persoalan ini sebetulnya sudah dibahas dari jauh-jauh hari ketika saya di Indonesia Corruption Watch (ICW),” ungkapnya.


Pasalnya, jelas dia, bantuan dalam konteks negara mempunyai prosedur, seperti mengajukan proposal, membuat laporan, kemudian transparansi data, dan lain-lain. 


“Tidak ‘bleg’ begitu saja dikasih uang kemudian dipakai sesuai dengan kebutuhan dari peesantrennya masing-masing,” jelasnya. 


Maka dari itu, ia merekomendasikan RMI untuk memberikan edukasi ke pesantren-pesantren terkait dengan pelaporan-pelaporan bantuan itu. Karena bantuan yang berhubungan dengan negara memiliki konteks berbeda dengan bantuan yang bersifat hibah.


“Yang dikhawatirkan adalah sesuatu yang oleh pesantren dianggap sebagai hal yang diperbolehkan, misalnya dalam fiqih soal kebolehan menerima hibah. Tapi bantuan dalam konteks negara ini berbeda dengan bantuan dalam konteks fiqih,” ucapnya. 


Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Syamsul Arifin