Jakarta, NU Online
Ketika masih aktif di Jaringan Islam Liberal (JIL), Intelektual Nahdlatul Ulama Gus Ulil Abshar Abdalla pernah menggegerkan dunia pemikiran melalui gagasannya yang dituangkan di Kompas pada 2002.
Tulisan yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam itu mendapat reaksi keras dari sejumlah kalangan. Bahkan, sempat keluar fatwa mati dari Ustadz Athian Ali.
Ketegangan sebagai dampak dari tulisan itu pun banyak yang merekamnya, tak terkecuali Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin. Kiai Ishom yang merasa penasaran atas kasus itu, kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada mertua Gus Ulil, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus.
“Kiai, boleh saya bertanya?” tanya Kiai Ishom.
“Ya, silakan,” kata Gus Mus mempersilakan.
“Bagaimana perasaan Kiai menjadi seorang mertua, punya menantu yang dihukum mati in absentia oleh KH Muhammad Athian Ali?” tanyanya.
“Ya saya biasa saja, yang penting menantu saya itu masih rajin membaca,” jawab Gus Mus.
Kiai Ishom mengaku bahwa jawaban Gus Mus tersebut sekali pun ditujukan kepada Gus Ulil, namun dirinya juga mendapat pelajaran, yakni tentang pentingnya membaca, apalagi bagi seorang penulis.
“Itu jawaban yang meskipun untuk Mas Ulil, tetapi juga perintah untuk diri saya, yaitu pesan untuk rajin membaca. Seorang penulis harus rajin membaca,” ucapnya.
Kiai Ishom menceritakan perbincangannya dengan Gus Mus di tengah-tengah acara peluncuran dan bedah buku Menjadi Manusia Rohani: Meditasi-Meditasi Ibnu ‘Athaillah dalam Kitab Al-Hikam di Gedung PBNU Jakarta Pusat, Senin (18/2) malam. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)