Nasional

Dampak Penayangan Glorifikasi Pembebasan Tersangka Pelecehan Seksual

Rab, 8 September 2021 | 12:00 WIB

Dampak Penayangan Glorifikasi Pembebasan Tersangka Pelecehan Seksual

Ilustrasi: penayangan berlebihan wajah pelaku pelecehan seksual di televisi dapat menimbulkan dampak yang buruk. Perilaku ini berdampak pada normalisasi terhadap perilaku melenceng tersebut. 

Jakarta, NU Online
Glorifikasi pembebasan pelaku pelecahan seksual yang akhir-akhir ini masif ditayangkan sangat disayangkan oleh masyarakat luas, mengingat hal ini memiliki dampak buruk tak hanya bagi korban, melainkan juga masyarakat. 


Psikolog Zoya Amirin mengatakan penayangan berlebihan wajah pelaku pelecehan seksual di televisi dapat menimbulkan dampak yang buruk. Perilaku ini berdampak pada normalisasi terhadap perilaku melenceng tersebut. 

 

"Perilaku ini nantinya akan memudahkan kalau misalnya ada hal seperti itu lagi. (Publik bisa menganggap) "Ah, itu kan hanya pelecehan’," ujar Zoya pada tayangan TVOne News, Selasa (7/9/2021).

 

Zoya juga menjelaskan, bahwa dampak penayangan glorifikasi pembebasan pelaku pelecehan seksual dapat memicu repetitif trauma pada korban dan keluarga. Dijelaskan pula oleh Zoya bahwa repetitif trauma sendiri adalah trauma yang berulang yang membuat korban merasa tidak nyaman karena peristiwa saat pelecehan terjadi menjadi teringat kembali. 

 

"Seluruh keluarga dan orang yang mencintai korban, termasuk korban itu sendiri, harus menulangi trauma berulang-ulang setiap melihat si pelaku," paparnya. 

 

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti juga menyangkan atas perilaku glorifikasi pembebasan pelaku pelecehan seksual. Ia menjelaskan bahwa penayangannya di televisi berisiko melahirkan sikap normalisasi atas perilaku tercela tersebut.

 

"Pelaku bisa merasa tidak bersalah atas perbuatannya. Menanggap kekerasan seksual sebagai sesuatu yang normal, ini sangat berbahaya," tutur Retno dikutip oleh dari laman Tirto, Selasa (7/9/2021).

 

Mengenai penayangan pembebasan pelaku pelecahan seksual yang berlebihan tersebut, Dosen Komunikasi di Universitas Islam Negeri Bandung, Mahi M Hikmat mengatakan bahwa jika ditinjau dari Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang menjadi kode etik penyiaran, tidaklah ditemukan pasal yang dilanggar. 

 

Kendati tiadanya pasal yang dilanggar, Mahi menjelaskan bahwa selain memiliki hukum tertulis, masyarakat Indonesia juga memiliki hukum tidak tertulis: norma dan nilai-nilai. Dalam kasus glorifikasi pembebasan pelaku pelecehan seksual dengan intensitas penayangan yang masif tersebut, hukum tidak tertulislah yang akan mengambil alih. 

 

"Kejahatan seksual menurut saya termasuk wilayah itu. Sehingga, para pelakunya sering kali tidak cukup hanya mendapatkan sanksi pidana, tetapi juga sanksi sosial dengan berbagai bentuk, misalnya dikucilkan, dasn sebagainya. Bahkan, sering kali sanksi sosial ini lebih berat," jelasnya.


Kontributor: Nuriel Shiami Indirapasha
Editor: Kendi Setiawan