Nasional TWEET TASAWUF

Di Antara Salah Kaprah Memaknai Kemahabesaran Allah

Rab, 17 Juli 2019 | 06:00 WIB

Di Antara Salah Kaprah Memaknai Kemahabesaran Allah

Ilustrasi (eliosh.info)

Jakarta, NU Online
Allahu Akbar, Allah Maha Besar menunjukkan bahwa Allah memang Maha Besar atas segala-galanya. Namun, dijelaskan oleh Pakar Tasawuf KH M. Luqman Hakim, tidak lantas dimaknai bahwa Allah lebih besar dari alam semesta, dan lain-lain karena pada hakikatnya Ia tidak terjangkau oleh alam pikiran manusia.

Kiai Luqman menegaskan bahwa di antara salah kaprah memaknai Takbir, Allahu Akbar (Allah Maha Besar), tiba-tiba seseorang membayangkan Allah lebih besar dari alam semesta, lebih besar dibanding langit dan Arasy.

“Padahal yang dimaksud Maha Besar itu, Allah tidak terjangkau alam pikiran, setinggi apapun pikiran itu,” jelasnya dikutip NU Online, Rabu (17/7) lewat twitternya.

Dalam kesempatan lain, Kiai Luqman juga menjelaskan makna di balik kalimat takbir ‘Allahu Akbar’. Hal ini ia kontekstualisasikan dengan momen Idul Adha yang selain terkait ibadah haji dan hewan kurban, juga lantunan takbir yang memang lekat dengan hari raya.

“Takbir Allahu Akbar itu maknanya Dzat Allah tidak terjangkau oleh alam pikiran dan akal kita,” tutur Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor, Jawa Barat itu.

Menurut Direktur Sufi Center Jakarta ini, salah besar jika dibayangkan ada sesuatu di sisi Allah dan menyertai-Nya lalu Allah lebih besar dibanding sesuatu itu. “Allah SWT tidak disertai oleh apa pun dan tidak sesuatu pun bisa menyertai-Nya,” ucapnya.

Kiai Luqman memaknai kalimat takbir yang dilantunkan di hari raya sebagai berikut:

الله اكبر

Takbiri iblis dan setanmu

الله اكبر

Takbiri nafsu dan pendukungnya

الله اكبر

Takbiri dunia dan akhiratmu

لااله الاالله الله اكبر

Sirnalah kemusyrikan dan segala hal selain Allah

الله اكبر ولله الحمد

Allah Yang Abadi, Kemahasempurnaan-Nya Maha Terpuji

Ia juga menanggapi terkait penilaian bahwa Allah bersama hati manusia. Menurutnya hal itu tidak apa-apa. Tapi perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan hati. Bukan fisiknya jantung, namun kesadaran akan kebenaran atau kebatilan yang dilihat oleh mata hati.

“Tergantung hatinya, bila bersih suci akan berpihak pada Tuhan. Bila kotor akan berpihak pada nafsu dan setan,” terang penulis buku Jalan Hakikat ini.

Lebih jauh, Kiai Luqman memaparkan bahwa cukuplah rasanya bahwa Allah meridhai kita untuk beribadah kepada-Nya. Menurutnya, itu lebih agung dibanding bayangan-bayangan pahala yang bakal manusia dapatkan.

“Masa masih minta ganti rugi kepada Allah?” tandasnya. (Fathoni)