Nasional

Dianggap Usang, NU Dukung Pengesahan Revisi KUHP Segera Dilakukan 

Sen, 27 Desember 2021 | 12:15 WIB

Dianggap Usang, NU Dukung Pengesahan Revisi KUHP Segera Dilakukan 

Idris Masudi menyerahkan hasil sidang Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah. (Foto: NU Online)

Bandar Lampung, NU Online

Proses perubahan atau revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah berjalan lebih dari 50 tahun. Namun, hal tersebut sampai hari ini belum menemui titik ujungnya. Padahal, KUHP yang dipakai saat ini merupakan adopsi KUHP dari Belanda yang sudah diterapkan sejak 1918. Sementara dunia terus bergerak dinamis dan banyak mengalami perubahan, meliputi berbagai bidang, antara lain perkembangan teknologi dan bisnis.


Tak pelak, KUHP yang masih dipakai saat ini dianggap sudah usang. Apalagi Belanda juga sudah memperbaharuinya pada tahun 1980. Artinya, Indonesia sudah sangat terlambat dalam memperbaharuinya.


Hal lain yang mendorong Revisi KUHP harus segera disahkan adalah perubahan paradigma dan berbagai terobosan baru yang perlu diapresiasi. Oleh karena itu, Muktamar Ke-34 NU mendorong agar proses pengesahan Revisi KUHP segera dilakukan. Terlebih pembahasannya tinggal sedikit lagi karena beberapa poin yang sudah dibahas tidak dilakukan pembahasan ulang.


“Mempercepat pembahasan dengan tetap mematuhi prosedur penyusunan perundang-undangan sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 yang diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 agar tidak cacat formil,” kata Idris Masudi, Sekretaris Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah, saat menyampaikan hasil sidang komisinya pada Sidang Pleno Muktamar Ke-34 NU pada Kamis (23/12/2021).


Dalam kesempatan tersebut, Idris menegaskan bahwa Revisi KUHP harus mengakui dan mengakomodasi norma hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) antara lain hukum Islam dan hukum adat.


KUHP juga, lanjutnya, harus melindungi keberadaan saksi dan korban. “Berorientasi pada perlindungan saksi dan korban,” kata Wakil Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU itu.


Hal lain yang harus dimuat dalam KUHP terbaru adalah perbaikan konsep tata cara pemidanaan. Setidaknya, ada empat hal yang perlu diperbaiki, yakni (1) mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi mengayomi masyarakat, (2) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna, (3) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan (4) menerapkan restorative justice yang berasaskan kemaslahatan.  


Pembahasan mengenai Revisi KUHP ini nyaris tidak ada dinamika. Semua peserta menyepakati agar Revisi KUHP segera disahkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).


Hanya saja, anggota Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Syamsuddin menambahkan bahwa memang sebetulnya draf yang diajukan adalah draf lama dengan muatan kajian hukum dan fiqih yang sudah pernah dibahas di Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama 2017 di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).


“Saat ini, kita hanya memperkuat saja agar segera disahkan. Karena sebenarnya pembahasannya mengerucut ke beberapa pasal saja,” katanya.

Hal serupa juga disampaikan Harianto Oghie, anggota Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah. Menurutnya, pembahasan ulang Revisi KUHP di Muktamar Ke-34 NU ini dilakukan dalam rangka menyegerakan pengesahannya. “Tahun 2017 sudah dibahas di Munas. Momentum Muktamar tahun ini kita masukkan lagi untuk mendorong percepatan untuk legislasi 2019-2024,” katanya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Aiz Luthfi