Nasional

Fatayat NU Prihatin Masih Ada Pihak yang Menolak RUU TPKS

Sel, 30 November 2021 | 14:00 WIB

Fatayat NU Prihatin Masih Ada Pihak yang Menolak RUU TPKS

Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Ermarini. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) terancam kandas disahkan usai diketahui lima fraksi masih menolak dalam proses pengambilan keputusan di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Lima fraksi itu yakni PAN, PKS, PPP, Golkar, dan Demokrat.

 

Merasa heran atas penolakan itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU) Anggia Ermarini menegaskan bahwa RUU TPKS memiliki urgensi untuk dapat segera disahkan sebab RUU ini mengakomodir kejahatan terkait kekerasan seksual secara spesifik dan menyeluruh.

 

“Saya prihatin karena RUU yang merupakan salah satu cara massif untuk mencegah kemudlaratan kok masih aja ada yang menentang,” ujarnya kepada NU Online, Selasa (30/11/2021).

 

Ia mengatakan dampak RUU PKS yang tak kunjung disahkan menimbulkan kerisauan dari berbagai pihak, khususnya penyintas kasus kekerasan seksual. Akhirnya, mereka hanya dapat mengandalkan media sosial sebagai wadah untuk menyampaikan kasus traumatis yang mereka alami.

 

“Karena belum ada kejelasan hukumnya, akhirnya mereka speak up ke media sosial untuk menyampaikan kerisauannya,” kata Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.

 

Karenanya, Anggi menyatakan bahwa upaya untuk merealisasikan RUU TPKS menjadi Undang-Undang harus menjadi perjuangan bersama. Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan negara yang adil dan makmur, serta aman bagi seluruh masyarakat.

 

Baginya, kehadiran kebijakan tersebut menjadi salah satu cara negara untuk memberikan tempat yang layak terhadap nilai-nilai kemanusiaan bagi anak bangsa. Sekaligus menjadi bagian perjuangan dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang paripurna.

 

Senada, Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU), Marzuki Wahid mengatakan, agama apapun pasti melarang kekerasan seksual. Sebab kekerasan seksual jelas merupakan pelanggaran hak-hak kemanusiaan dan penodaan kesucian yang berlawanan dengan hukum Tuhan.

 

“Semua agama menolak kekerasan seksual, tidak ada yang membolehkan,” katanya menegaskan.

 

Menguatkan pernyataan sebelumnya, Anggota Majelis Musyawarah Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Nur Rofiah mengatakan, Islam sebagai satu sistem ajaran memiliki landasan moral yang mengacu pada nilai dan prinsip kebajikan universal, seperti keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan, untuk menyempurnakan akhlak mulia manusia, termasuk pada perempuan.

 

Oleh karena itu, menurutnya hasil Musyawarah KUPI pertama antara lain menyepakati bahwa hukum melakukan kekerasan seksual, baik di dalam dan di luar perkawinan adalah haram.

 

Selain itu diungkapkannya, negara sebagai ulil amri wajib memberikan perlindungan sistemik, dengan melakukan pencegahan, penghukuman, perlindungan hingga pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku. Selain itu, tambahnya, tindakan pemimpin kepada rakyat harus berorientasi pada kemaslahatan.

 

Kendati demikian, Aktivis Gender lulusan Universitas Ankara Turki itu, menyebut kehati-hatian dan kejelasan norma perlu dikedepankan guna mencegah timbulnya multitafsir dan penyalahgunaan dalam implementasi RUU TPKS apabila sudah disahkan.

 

"KUPI meyakini anggota DPR, dengan kearifan dan kenegarawanannya mampu menghadirkan UU TPKS yang adil dan solutif sebagai wujud dari komitmen kebangsaan dan kemanusiaan yang memberi perlindungan kepada segenap warga bangsa dari kekerasan seksual, khususnya kelompok dhuafa (lemah) dan mustadh'afin (terlemahkan secara struktural)," pungkasnya.

 

Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Aiz Luthfi