Nasional

Rekomendasi Komnas Perempuan tentang RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Kam, 25 November 2021 | 07:00 WIB

Rekomendasi Komnas Perempuan tentang RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Seminar 'Urgensi Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk Proteksi dan Perlindungan Perempuan dan Anak Menuju Keluarga Maslahah' Rabu (24/11/2021). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online 
Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor menilai Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) masih harus diperkuat kembali sinerginya untuk mengadvokasi substansi yang hilang.
 

Mengisi seminar bertajuk Urgensi Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk Proteksi dan Perlindungan Perempuan dan Anak Menuju Keluarga Maslahah, Ulfa menuturkan  pada 30 Agustus 2021 lalu, Badan Legislasi (Baleg) mengadakan rapat tentang Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang secara resmi disetujui sebagai draf nol atau kosong.

 
"Kami Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil mempelajari dan menelaah kembali draf kosong dan hasilnya secara substansi ada enam elemen kunci yang diusulkan KP-JMS diterima tetapi bagian-bagian substansi penting dihilangkan," ujar Ulfa pada acara yang berlangsung Rabu (24/11/2021).
 

Hilangnya substansi dari RUU TPKS itu menurut Ulfa perlu disempurnakan atau advokasikan kembali kepada DPR. Berikut pasal-pasal yang diusulkan Komnas Perempuan; Pertama, tindak pidana kekerasan seksual sebagai norma tindak pidana atau pemberatan. Kedua, penguatan rumusan unsur tindak pidana eksploitasi seksual. Ketiga, merumuskan Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS). 

 

"Kasus berbasis gender siber berdasarkan Catatan Komnas Perempuan mengalami kenaikan 920 persen dari tahun 2019 atau sebelum masa pandemi," terang Ketua Umum PP Fatayat NU periode 2000-2005 ini.
 

Keempat, penegasan tindak pidana kekerasan seksual di luar hubungan suami istri. Kelima, penyempurnaan elemen pencegahan kekerasan seksual. Keenam, lanjut dia, penegasan kembali perlindungan akan korban. Ketujuh, perumusan ketentuan delegatif dan ketentuan lain-lain ini sebagai pasal jembatan dengan RUU lain.

 

"Ini juga termasuk disuarakan oleh beberapa kelompok yang menolak bahwa RUU ini akan beririsan dengan berbagai undang-undang bahkan mereka selalu berargumentasi RUU ini menunggu RUU KUHP disahkan padahal kita tahu RUU KUHP jauh lebih kompleks ketimbang RUU TPKS," ungkapnya.

 
Berangkat dari itu, ia mendorong pemerintah untuk segera tetapkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai RUU inisiatif DPR RI. Selain itu, ia meminta perkuat lobbi kepada Panja untuk menyempurnakan sejumah ketentuan dalam RUU TPKS dan mempertimbangkan daya kemanfaatan rumusan norma berdasarkan pengalaman korban KS serta  hambatan untuk mengakses keadilan.

 

Selanjutnya yang tidak kalah penting, kata dia, mengadvokasi pemerintah untuk memperkuat kelompok masyarakat yang bekerja langsung dalam penanganan korban KS serta mengadvokasi tokoh agama, tokoh masyarakat untuk memberikan dukungan terhadap pengesahan RUU TPKS.
 

Pihaknya juga mendorong media, dunia usaha dan pemangku kepentingan terkait untuk memperkuat advokasi RUU TPKS. "Saya kira NU memiliki banyak media seperti NU Online, TVNU, dan media sosial lainnya (untuk memperkuat advokasi RUU TPKS)," tandasnya. 
 

Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Kendi Setiawan