Nasional AICIS 2022

Guru Besar UIN Antasari Sebut Demokrasi di Indonesia Tumbuh Baik Tanpa Liberalisme

Jum, 4 November 2022 | 09:09 WIB

Guru Besar UIN Antasari Sebut Demokrasi di Indonesia Tumbuh Baik Tanpa Liberalisme

Prof Mujiburrahman, Guru Besar bidang Sosiologi Agama UIN Antasari Banjarmasin menjadi salah satu pembicara kunci di acara Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS), di Bali pada Rabu (2/11/2022).

Bali, NU Online

Secara umum teori dominan demokrasi yang lahir dan tumbuh di belahan dunia barat menyebutkan bahwa demokrasi hanya bisa dimiliki jika negara menerapkan paham sekular dan berideologi liberal. Negara yang mampu pemisahan antara pandangan agama dengan kebijakan publik negara (sekular) serta memikul gagasan liberal menurut teori itu adalah syarat utama yang harus dimiliki untuk mendapatkan demokrasi.

 

Namun hari ini, teori tersebut terbantahkan dengan fakta bahwa demokrasi bisa tumbuh dengan berbagai macam cara, dan mampu menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya dari sebuah negara. Indonesia misalnya, ia menjadi model lain dari teori demokrasi yang mucul dari barat namun secara bersamaan melahirkan fakta lain bahwa demokrasi bisa tumbuh dan berkembang tanpa harus menerapkan prinsip sekularisme maupun paham liberal. 

 

Prof Mujiburrahman, Guru Besar bidang Sosiologi Agama UIN Antasari Banjarmasin menyebut bahwa Indonesia bukan negara sekuler, tidak juga negara Islam, karena Indonesia memiliki banyak agama di dalamnya. Namun demokrasi bisa tumbuh dengan baik di negeri ini.

 

Mengutip buku Jeremy Menchik: Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance Without Liberalism, ia menyebut bahwa masyarakat Indonesia memiliki toleransi komunal, dan rasa kepedulian bersama. Kebebasan individu di Indonesia dibatasi dan dipengaruhi oleh integritas dalam satu komunitas.

 

“Ini yang disebut sebagai toleransi tanpa harus liberal,” ungkap Prof Mujiburrahman saat menjadi pembicara kunci di acara Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS), di Bali pada Rabu (2/11/2022).

 

Dalam beberapa pasal Undang-Undang 1945 disebutkan bahwa setiap orang harus menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

 

Hal ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang yang bertujuan menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, termasuk kebebasan untuk memeluk agama dan keyakinan di mana Indonesia memberikan keluasan dengan dasar sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

Namun pria kelahiran Kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 9 Desember 1971 ini memberi beberapa catatan tentang kebebasan beragama di Indonesia. “Permasalahan kebebasan beragama terkadang berhubungan dengan permasalahan psikologi,” katanya.

 

Pada tahun 1980, sosiolog dari Belanda menulis sebuah artikel berjudul “Indonesian Muslim: Majority with Minority Mentality” (Muslim Indonesia: Mayoritas dengan Mental Minoritas). Dengan situasi ini, terjadi persaingan terbuka di tengah masyarakat dan berasumsi semuanya memiliki kemampuan yang sama untuk berkompetisi.

 


“Jika kita merasa lemah secara ekonomi, politik, saat kita menjadi mayoritas maupun minoritas, maka ini adalah masalah,” pungkas rektor UIN Antasari Banjarmasin periode 2017-2021 ini.

 

Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Zunus Muhammad