Nasional

Gus Aab: Di Indonesia, Islam Tak Perlu Diformalkan

Kam, 11 Mei 2017 | 05:00 WIB

Gus Aab: Di Indonesia, Islam Tak Perlu Diformalkan

Ketua NU Jember, KH Abdullah Syamsul Arifin.

Jember, NU Online
Untuk Indonesia, Islam tidak perlu diformalkan, tapi ajarannya cukup menjiwai kehidupan masyarakat. Penerapan Islam yang elegan diibaratkan sebagai garam. Untuk mengubah rasa, garam tidak perlu mengubah warna makanan, tapi cukup mencemplungkan diri sedikit saja, makanan sudah berubah rasanya. 

Ungkapan tersebut disampaikan Ketua PCNU Jember, KH Abdullah Syamsul Arifin yang akrab disapa Gus Aab saat berceramah dalam rangka memperingati Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW di aula PB Sudirman, Kantor Bupati Jember, Jawa Timur, Rabu (10/4).

Menurutnya, pemformalan ajaran Islam di Indonesia, selain tidak cocok dengan kondisi kebhinekaan bangsa, juga belum tentu Islam benar-benar bisa menjiwai kehidupan masyarakat. 

"Jadi Islam jangan dijdikan cat pewarna. Kalau cat pewarna ya hanya penampilan fisiknya yang berubah. Tapi kalau garam, maka rasa makanan apapun bisa berubah. Dan idealnya, penerapan Islam seperti filosofi (garam) ini," ujarnya.

Ia juga mengibaratkan Islam seperti air. Ditaruh di bejana apapun bisa. Dan ketika dilihat warna air selalu mengikuti warna bejana tersebut. Tapi intinya, tetap bening. Begitu juga dengan Islam. Islam selalu bisa menyesuaikan diri mengikuti "warna" budaya lokal, di manapun Islam menjejakkan kaki. 

"Selama itu tidak menyangkut yang pokok (akidah), Islam memang terbuka untuk berubah. Tapi kalau sudah menyangkut pokok, Islam wajib mempertahankan jati dirinya. Sama dengan air, di mana-mana berubah sesuai warna bejana dan bentuknya. Tapi aslinya tetap bening," urainya.

Dikatakannya, penerapan Islam sangat fleksibel. Tergantung situasi dan kondisi. Begitu juga di Indonesia, penerapan Islam menyesuaikan diri dengan kondisi ke-Indonesia-an. 

Karenanya Islam Indonesia tidak penah berbenturan dengan budaya lokal, bahkan mengakomodasinya. Dan itulah sebabnya kemudian lahir istilah Islam Nusantara. 

"Jadi Islam Indonesia, tidak harus sama dengan Islam di Timur Tengah karena aturan, budaya dan kondisi di Indonesia berbeda dengan Arab," ulasnya. (Aryudi A. Razaq/Fathoni)