Nasional

Gus Awis Jelaskan Lima Prinsip dalam Pembelajaran Al-Qur’an 

Sen, 16 Agustus 2021 | 07:00 WIB

Gus Awis Jelaskan Lima Prinsip dalam Pembelajaran Al-Qur’an 

Ilustrasi kegiatan belajar Al-Qur`an.

Jakarta, NU Online
Ada lima prinsip dasar dalam pendidikan Al-Qur’an yaitu adab, metodologi, manajemen, prinsip waktu dan pendidik Al-Qur’an. Kualitas pendidikan Al-Qur’an di tengah pandemi ini mestinya bisa kembali kepada prinsip dasar tersebut.

 

Pertama, prinsip adab dalam mengaji. Orang belajar mengaji itu tidak hanya belajar Al-Qur’an lalu dibenarkan makhārijul huruf-nya, tajwidnya, tapi ada transformasi nilai-nilai Al-Qur’an,” jelas Katib Syuriyah PBNU, KH Muhammad Afifudin Dimyathi saat mengisi Pelatihan dan Syahadah Tartil Al-Qur’an yang digelar secara virtual, Sabtu (14/8).

 

Dicontohkannya, biasanya di dalam Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) murid diajarkan adab berpakaian, berbicara, antri, membawa kitab, dan sebagainya. Hal ini adalah etika yang sebenarnya penting di dalam proses belajar mengajar Al-Qur’an.

 

“Di era pandemi mungkin banyak yang hilang. Prinsip-prinsip sopan santun inilah yang harus tetap menjadi perhatian kita bersama. Jangan sampai kita mengabaikan proses ini, karena bagaimanapun juga, Al-Qur’an harus dibarengi dengan adab,” tuturnya.

 

Pria yang akrab disapa Gus Awis ini mengutip sebuah hadits yang yang menerangkan bahwa akan datang suatu zaman yang terdapat banyak ahli qurra, sedikit ulama, tercerabutnya ilmu, kemudian banyak pembaca Al-Qur’an tapi bacaannya tidak sampai kerongkong mereka.

 

“Saya tentu tidak berharap ini sudah terjadi pada zaman kita. Tetapi saya ingin yang terjadi hari ini adalah kebalikannya sehingga tercipta al-fahmu dan nanti akan sampai pada taraf al-‘amāl, maka di situlah letak adab ini bisa tercapai,” bebernya.

 

Penghafal Al-Qur’an, kata Gus Awis, harus bisa menata dan menjaga hatinya dari hasud, dengki, dendam dan penyakit hati lainnya karena sentuhan itu pada hati sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Muhammad ayat 24.

 

“Saya mengajak pengelola pendidikan Al-Qur’an, mari kita pikirkan ini bersama. Bagaimana anak didik kita jangan hanya selesai baca tapi bagaimana adab itu bisa merasuk ke dalam diri mereka, bagaimana akhlak anak didik menjadi akhlak Al-Quran, karena inti dari belajar mengaji di situ.” terangnya.

 

Kedua, prinsip metode dan metodologi pengajaran. Menurut Gus Awis, ada tiga metode yang dikenal dalam pembelajaran Al-Qur’an, yaitu talqin (guru membacakan lalu murid menirukan), tashih (murid membacakan kemudian guru membenarkan) dan tadarus (murid membaca mandiri dan mengulang).

 

“Dalam sejarah para sahabat, Nabi pernah membacakan kepada Ubay bin Ka’ab (metode talqin). Nabi juga pernah menyuruh Abdullah bin Mas’ud membacakan kepada beliau (metode tashih),” tambahnya.

 

Adapun metode tadarus, sambungnya, harus menjadi proses yang belangsung selama seumur hidup karena belajar Al-Qur’an tidak dibatasi waktu. Ketika sudah khatam membaca Al-Qur’an misalnya, tidak bisa kemudian malah berhenti mengaji.

 

Ketiga, prinsip manajemen pendidikan Al-Qur’an, yaitu ada guru, pembinaan guru, ketuntasan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) dan kurikulum pendamping.

 

“Kita jangan terlalu loyal pada metode, yang penting anak bisa mengaji dengan benar. Karena metode itu memang disusun untuk memudahkan. Jika tidak memudahkan siswa, maka guru berhak mengganti metode lain,” ujarnya.

 

Mengenai ketuntasan TPQ, menurut Gus Awis, metode yang baik adalah ketika siswa menjadi sangat antusias terhadap Al-Qur’an, sangat mencintai Al-Quran dan terus menerus membaca Al-Qur’an sebagaimana diperintahkan dalam Surat Muhammad ayat 24, Al-Muzammil ayat 20, Al-A’raf ayat 204.

 

Keempat, prinsip waktu. Masalah yang kadang terjadi adalah ketika murid belajar Al-Qur’an kemudian pindah pondok dan metode pembelajaran di pondok baru berbeda dengan pondok sebelumnya, sehingga pembelajaran murid berlangsung cukup lama karena harus memulai dari awal.

 

“Memang harus begitu sesungguhnya, tetapi kita sebagai guru punya otoritas untuk mempersingkat. Artinya dia bisa langsung meloncat,” imbunya.

 

Ditambahkannya, sebaiknya murid diajarkan praktek membaca langsung pada Al-Qur’an, tujuannya adalah untuk memompa motivasi murid sekaligus mengharapkan pahala dari membaca Al-Qur’an, sebab pada buku-buku pembelajaran itu murni teoritik.

 

“Mohon maaf, ini mungkin agak frontal, karena kakek-kakek kami dulu mengajar Al-Qur’an secara manual, mulai Al-Fātihah dibaca terus sampai khatam An-Nās, baca lagi, diulang lagi,” paparnya.

 

Kelima, prinsip guru atau pendidik. Untuk menjelaskan sosok guru,  Gus Awis mengutip ayat pertama dalam Surat Ar-Rahman yang memberikan isyarat bahwa hal penting dalam proses mengajar Al-Qur`an adalah sosok guru yang mempunyai kasih sayang kepada muridnya.

 

“Dengan cara apa pun guru mengajar, yang penting dia itu Ar-Rahmān, punya kasih sayang, sering memberi kemudahan dan baik. Ar-Rahmān itu maknanya welas asih,”tandasnya.

 

Gus Awis menjelaskan, di pesantren banyak kiai yang mengajar dengan tegas dan dianggap tidak nyaman, namun ternyata banyak santrinya yang sukses. Hal ini terjadi karena dalam diri kiai tersebut ada nilai Ar-Rahman yang mampu menerapkan kasih sayang Allah dalam membina santrinya.

 

Kontributor: Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Editor: Aiz Luthfi