Nasional

Gus Baha: Badal Haji Tak Harus Nunggu Wafat saat Orang Tua Sakit Parah

Sab, 10 Juni 2023 | 07:00 WIB

Gus Baha: Badal Haji Tak Harus Nunggu Wafat saat Orang Tua Sakit Parah

Rais Syuriyah PBNU, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha. (Foto: Dok. Pesantren Ploso Kediri)

Jakarta, NU Online

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menjelaskan bahwa badal haji tidak harus menunggu yang dibadali wafat. Ketika ada orang tua yang sakit parah dan sulit sembuh, sudah bisa dilakukan badal haji untuknya, kata Gus Baha.


Menurut Gus Baha, adat Indonesia itu ketika ada orang tua yang sudah sepuh dan sakit maka hajinya menunggu wafat. Alasan utamanya hajinya lebih murah. Apalagi ketemu dengan Muthowif yang hanya mematok harga Rp. 3-4 juta. Dengan alasan kalau masih hidup, nanti hajinya mahal.


Hal tersebut disampaikannya saat kajian rutin tafsir Jalalain di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Lembaga Pembinaan Pendidikan Pengembangan Ilmu Al Qur'an (LP3IA) Narukan, Rembang, Rabu lalu. 


"Sebenarnya, jangan menunggu wafat baru dibadalkan hajinya. Secara fiqih, ketika ada uzur sakit tidak mungkin sembuh sudah boleh dibadalkan hajinya. Keliru kalau menunggu wafat baru dibadalhajikan. Dengan alasan murah. Kekeliruan seperti ini jangan diteruskan," ujar Gus Baha.


Ulama ahli tafsir itu menambahkan, cerita kebiasaan masyarakat Indonesia yang menghajikan orang tuanya yang sakit setelah wafat ini didapati Gus Baha dari masyarakat yang melakukan badal haji buat orang tuanya.


"Ada orang sowan ke saya lalu cerita kalau orang tuanya kaya, belum sempat haji lalu sakit. Katanya hajinya akan dibadali nunggu orang tuanya wafat saja, ini kurang pas," tegasnya.


Dikatakan, secara fiqih syarat haji itu harus istitho'ah (mampu), meliputi istitho'ah bi nafsihi dan istitho'ah bi ghoirihi. Istitho'ah bi ghoirihi ini bisa dilakukan karena meninggal dunia dan sakit parah seperti stroke, dan lain-lain. 


Alasan Gus Baha meminta masyarakat mau menghajikan orang tua meskipun sakit parah, sebelum wafat karena ketika orang tua masih sadar, maka ada partisipasi berupa niat dalam proses badal haji.


Setidaknya, kata Gus Baha, punya wewenang untuk memutuskan menjual mobil ini dan itu, jual kambing, atau harta lainnya untuk tambahan biaya badal haji. Ada sumbangsih juga dalam memilih orang yang akan membadalkan hajinya.


Ia menjelaskan, dikhawatirkan kalau badal hajinya nunggu wafat, ternyata waktu hidup orang tersebut tidak terlintas haji dipikirannya, parahnya malah berpikiran bahwa haji itu masalah. "Sehingga ketika ditawari haji, malah bicara tidak jelas. Ini bisa digolongkan fasiq, menganggap haji adalah masalah," ucap Gus Baha.


Sementara itu, Tuhan sangat mempertimbangkan niat seseorang ketika melakukan ibadah termasuk haji ke baitullah. "Makanya badal haji sebaiknya dilakukan ketika masih hidup saja, meskipun saat itu sakit, ada sumbangsih niat, nanti bisa dijelaskan bab haji sekalian kalau belum sepakat. Supaya tidak menganggap haji itu sebuah masalah," tandas Gus Baha.


Kontributor: Syarif Abdurrahman

Editor: Fathoni Ahmad