Nasional

Gus Muwafiq Tegaskan Pancasila Selaras dengan Nilai Ajaran Islam

Jum, 26 Mei 2023 | 09:15 WIB

Gus Muwafiq Tegaskan Pancasila Selaras dengan Nilai Ajaran Islam

Pendakwah KH Ahmad Muwafiq dalam tayangan Gus Muwafiq: Ulama Memiliki Peran Besar dalam Penguatan Pancasila, Kamis (25/5/2023). (Foto: Tangkapan layar Youtube)

Jakarta, NU Online
Pendakwah kondang yang juga tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahmad Muwafiq atau yang bisa disapa Gus Muwafiq menegaskan bahwa Pancasila selaras dengan nilai ajaran Islam. Salah satu argumentasinya yaitu sejarah Nusantara yang membuktikan memiliki peradaban yang multidimensi sejak 300 M. Oleh karena itu, ketika Islam datang ke Nusantara, masyarakat telah memiliki perilaku yang sama persis dengan yang diajarkan Islam, kecuali masalah tauhid. Saat itu bangsa Nusantara meyakini Tuhan, tetapi bukan Allah swt. 


"Makanya ketika Islam datang ke Indonesia ada tantangan yang harus dipikirkan. Karena ketemu dengan bangsa yang sudah memiliki peradaban. Berbicara Lakum dinukum waliyadin, di sini sudah ada agama yang beragam. Bicara Wajaalnakum suubaw wala tafarraku di sini sudah banyak bangsa dan suku. Yang belum itu mengenal Allah, mengenal Tuhan sudah," kata Gus Muwafieq, seperti dikutip NU Online dalam tayangan Gus Muwafiq: Ulama Memiliki Peran Besar dalam Penguatan Pancasila, Kamis (25/5/2023). 

 

Gus Muwafiq menambahkan, karakter bangsa Indonesia yang kuat terkait nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme membuat kelompok ekstremis seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sulit diterima. Tingginya rasa nasionalisme bangsa Indonesia juga memiliki keterkaitan dengan istilah rakyat. Rakyat yang digunakan bangsa untuk menyebut individu warga negara, merupakan adaptasi dari kata ra'yun yang diambil dari hadits Kullukum ra'in wakullukum masulun an raiyatihi.


Oleh sebab itu, wajar apabila bangsa Indonesia, terutama umat Muslim, adalah bangsa yang tidak mengenal kasta, karena setiap individu adalah pemimpin untuk dirinya sendiri dan orang lain. Demikian pula terkait dengan karakter bangsa Indonesia yang penuh dengan tanggung jawab. Hal itu karena dipengaruhi oleh filosofi rakyat atau ra'yun tersebut. 


"Kelompok Khilafah, begitu mereka berkuasa, mereka akan jadi diktator mayoritas. Komunis, begitu dia mayoritas, akan ada diktator proletariat. Kalau raiyah ini mayoritas dia akan tetap hidup saling bertanggung jawab, tidak akan pernah melakukan diktator mayoritas," tuturnya. 


Kiai asal Yogyakarta ini meyakini bahwa karakteristik bangsa Indonesia yang multidimensi mendorong adanya penerimaan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum merdeka 17 Agustus 1945. Begitu pun dengan Nahdlatul Ulama, organisasi ulama yang memiliki jutaan pengikut ini berkomitmen menjaga NKRI melalui pengamalan Pancasila.  


"Ketika Pancasila dijadikan asas tunggal, ya NU tidak pangling. Tidak terus kemudian lupa, ini memang punyanya kaum Muslimin. Ini memang konsep kita," ujarnya. 


Ia menegaskan, setiap sila di dalam Pancasila adalah butir-butir dari nilai ajaran Islam. Seperti 'Ketuhanan Yang Maha Esa' merupakan perintah agama dalam Surat Al-Ikhlas. Kemudian, sila 'Kemanusiaan yang adil dan beradab' ini sejalan dengan maqasid syariah yang ingin mewujudkan keadilan untuk sesama, tanpa melihat suku ras dan golongan. 


"Kemudian sila 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan' itu kelembutan batin, pancaran batin yang merupakan puncak kelembutan manusia. Makanya Ud’u ila sabili bil hikmah. Sekarang kalimat hikmah, jadi landasan negara," tegasnya. 


Pernyataan Gus Muwafieq juga sejalan dengan pemikiran Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Profesor Yudian Wahyudi. Dalam pertemuan di Makassar beberapa waktu yang lalu, Yudian menyebut bahwa Pancasila sejalan dengan ajaran dalam Islam. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia dapat memaknai arti dari Pancasila yang ada saat ini.


Yudian kemudian mengajak agar umat islam menjadi pelopor dari persatuan dan kesatuan Indonesia dalam membumikan Pancasila. Sebab, katanya, Islam tidak mengajarkan untuk terpecah belah. 

 

"Bila ada yang berselisih, kita diminta untuk mendamaikannya. Kita seharusnya tidak boleh menjadi agen perpecahan, melainkan sebagai penyatu suku bangsa kita yang beragam," katanya. 


Kontributor: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Kendi Setiawan