Nasional HAUL KE-15 CAK NUR

Gus Ulil Paparkan Pandangan Cak Nur tentang Ibnu Taimiyah

Ahad, 30 Agustus 2020 | 12:30 WIB

Gus Ulil Paparkan Pandangan Cak Nur tentang Ibnu Taimiyah

Kritik Ibnu Taimiyah kepada falsafah dan kalam didorong motivasi untuk menjaga akidah Islam dari pengaruh falsafah Yunani. (Ilustrasi: Akidah NU Online)

Jakarta, NU Online
Pengampu Ngaji Ihya' Online, Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil), mengatakan bahwa karier intelektual Ibnu Taimiyah sebenarnya diarahkan untuk melakukan kritik terhadap tiga golongan besar dalam Islam. Namun, yang ditulis almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) hanya dua. 


Hal tersebut disampaikan Gus Ulil dalam diskusi dan peluncuran disertasi Nurcholish Madjid berjudul ‘Ibn Taimiyah tentang Kalam dan Falsafah’. Forum ini merupakan salah satu rangkaian menuju haul ke-15 Cak Nur yang digelar pada Jumat (28/8) malam.


"Musuh besar Ibnu Taimiyah adalah Falsafah, orang-orang yang terjun ke dalam ilmu kalam dan orang-orang sufi. Namun, fokus disertasi ini hanya kepada kritik Ibnu Taimiyah terhadap falsafah dan ilmu kalam saja," paparnya.
 

Gus Ulil menambahkan, menurut Ibnu Taimiyah di dalam konstruksi Cak Nur, kritik Ibnu Taimiyah kepada falsafah dan kalam didorong motivasi untuk menjaga akidah islam dari pengaruh falsafah Yunani.


“Sebab, falsafah yang dilakukan oleh beberapa filsuf muslim, sebetulnya merupakan wacana intelektual yang dipengaruhi oleh pemikiran orang Yunani,” tandas pria kelahiran Pati ini. 


Menurut Gus Ulil, Cak Nur memiliki rasa simpati yang besar dan pandangan yang positif kepada Ibnu Taimiyah. Sejak disertasi ini ditulis, Cak Nur di dalam pidato-pidatonya sering sekali mengutip Ibnu Taimiyah untuk mendukung pendapatnya.


"Tetapi, karier Cak Nur justru berbalik. Para simpatisan Ibnu Taimiyah banyak membenci dan memusuhi Cak Nur. Saya menyebutnya sebagai paradoks Cak Nur," tambah Gus Ulil mengakhiri sesinya. 


Akal dan wahyu
Berbeda dengan Gus Ulil, Guru Besar Kajian Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Syafa'atun Almirzanah, selaku pemateri kedua lebih banyak membahas mengenai pemikiran Ibnu Taimiyah. Ia menjelaskan mengenai persoalan hubungan antara akal dan wahyu. 
 

Menurut dia, kita sebagai manusia harus menerima apa yang tertulis dalam Al-Qur'an, Hadits, dan pandangan para ortodoks. Maka kita sudah tidak perlu mencari-cari. "Sebab kata Ibnu Taimiyah, pemikiran manusia tidak capable untuk memahami segala sesuatu tentang Tuhan," tambahnya.


Perempuan yang juga Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini melanjutkan, filsafat pada saat itu mengatakan bahwa Tuhan adalah first cause dan tidak akan memiliki attributes. Hal itulah yang ditentang oleh Ibnu Taimiyah. 


"Meski begitu, Ibnu Taimiyah tidak mengatakan kelompok filsafat tersebut sebagai kelompok orang kafir. Hal ini yang saya rasa perlu kita garis bawahi, mengapa saat ini kita dengan mudahnya mengatakan orang lain kafir," sambung Dosen jebolan Lutheran School of Theology Chicago AS ini.


Menariknya, lanjut Syafa'atun, Nurcholish Madjid menyampaikan bahwa ilmu kalam merupakan teologi rasional yang muncul dari pemikiran untuk membela madzhab tertentu. Sedangkan mutakallimun (ahli ilmu kalam) adalah milisi dialektis dari sekte-sekte yang berperang atau perwakilan-perwakilan yang trampil dalam berdialektika.


"Persoalannya, kalau dulu bersifat apologetik atau melayani kelompok tertentu, maka apakah saat ini ilmu kalam yang sedang kita pelajari juga begitu," tambahnya melontarkan pertanyaan. 


Mengakhiri sesinya, Syafa'atun menyampaikan bahwa Ibnu Taimiyah dalam setiap kritikannya sangat menghindari ad hominem. “Saya rasa hal ini yang perlu kita tiru,” tandasnya.


Guru Besar Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Prof Dr Zainun Kamal sebagai pemateri ketiga memaparkan, yang dikritik oleh Ibnu Taimiyah mengenai kesalahan al-Asy'ari adalah mempertahankan aqidah salafiyah dengan metode rasional. 


"Hal tersebut salah satu bentuk perdebatan mengenai salafiyah apakah termasuk dalam Ahlussunnah Wal Jamaah atau tidak," lanjut pria yang disertasinya juga membahas mengenai Ibnu Taimiyah itu.


Kontributor: Nila Zuhriah
Editor: Musthofa Asrori