Nasional

Gus Yahya Jelaskan Akar Genealogi Islam Radikal dalam lintas Sejarah

Rab, 23 November 2022 | 15:10 WIB

Gus Yahya Jelaskan Akar Genealogi Islam Radikal dalam lintas Sejarah

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menjadi pembicara pada acara The Oxford Union di kampus kenamaan dunia, Universitas Oxford, Inggris, Selasa (22/11/2022). (Foto: Dok PBNU)

Jakarta, NU Online 
Islam sama sekali tidak membenarkan praktik kekerasan dalam penyebaran agama. Paham keagamaan yang represif dapat memicu konflik berkepanjangan.   


Mengenai hal itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengatakan bahwa ketegangan antara Islam dengan realitas peradaban baru merupakan masalah yang bersifat global. Wacana hubungan agama tersebut kian berkembang dan telah menjurus pada peningkatan gerakan radikal dan ekstremis internasional, setidaknya sejak akhir 1990-an.


Ia menyinyalir persoalan tersebut berkaitan dengan wacana Islam klasik yang puncak kejayaannya ada pada abad pertengahan atau pada masa keemasan Utsmaniyah.


“Setelah sekian lama, ajaran Islam klasik ini masih dianggap berwibawa dan layak dianut oleh banyak umat Islam di seluruh dunia,” katanya saat menjadi pembicara pada acara The Oxford Union di kampus kenamaan dunia, Universitas Oxford, Inggris, Selasa (22/11/2022).


Kiai yang akrab disapa Gus Yahya itu menjelaskan, kelompok yang terlibat dalam gerakan radikal dan ekstremis adalah mereka yang mengotot agar wacana agama klasik dioperasionalkan dalam realitas hari ini. 


Ia menambahkan, kelompok tersebut menolak untuk mengakui format tatanan dunia baru yang tercetus dari konsensus internasional setelah Perang Dunia II. Mereka berupaya untuk mengembalikan dunia kepada sistem pemerintahan khilafah, sebuah konstruksi negara Islam universal di bawah kepemimpinan seorang Muslim atau imam.


“Inilah tensi problematik ajaran Islam yang masih dianggap otoritatif. Dan kita dapat melihat bahwa gerakan Islam radikal dan ekstremis saat ini sebenarnya bersikeras untuk menjaga ketegangan bermasalah ini dalam ajaran Islam. Mereka menuntut sistem tersebut dioperasionalkan, apapun konsekuensinya,” ungkap Gus Yahya.


“Itulah prinsip dasar ideologi ISIS, Al-Qaeda, Hizbut Tahrir, dan gerakan sejenis lainnya,” imbuhnya.


Gus Yahya menutur, doktrin khilafah sebagai konstruksi negara dalam wacana Islam klasik diyakini kelompok tertentu sebagai cita-cita politik Islam. Hal ini melahirkan dorongan untuk memperjuangkan berdirinya khilafah.


Melihat penerapan wacana Islam klasik dengan tendensi problematik tersebut, ia mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama terus berupaya mencari solusi, salah satunya melalui forum Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama se-Indonesia.


“Kami mengkaji isu-isu tersebut dan konferensi tersebut memasukkan sebuah fatwa yang memberikan kerangka teologis bagi pandangan baru terhadap isu yang menjadi perhatian khusus dalam wacana keislaman,” tegasnya.


Forum musyawarah itu menyepakati bahwa mendirikan khilafah bukanlah kewajiban bagi umat Islam, karena umat Islam diberi kewenangan untuk mengatur kehidupan politik mereka.


“Muslim memiliki konsensus dengan orang lain untuk memiliki sistem politik di mana non-Muslim bisa hidup bersama secara damai,” ujar Gus Yahya.


Menurutnya, upaya Nahdlatul Ulama tidak hanya memberikan jawaban dalam konteks kehidupan beragama Indonesia semata, tetapi juga dalam konteks masyarakat global yang lebih luas. 


“Apa yang Nahdlatul Ulama lakukan hari ini adalah kami berusaha menjangkau dunia Islam untuk mempromosikan pandangan Islam dalam konteks realitas peradaban saat ini, tatanan dunia baru setelah Perang Dunia 2,” pungkasnya.


Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Syamsul Arifin