Nasional

Gus Yahya: Jika NU Berpolitik Praktis Tidak Adil bagi Indonesia

Sab, 5 November 2022 | 10:00 WIB

Gus Yahya: Jika NU Berpolitik Praktis Tidak Adil bagi Indonesia

Tangkapan layar Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf saat menjadi bintang tamu dalam proram Satu Meja di Kompas TV, Kamis (3/11/2022).

Jakarta, NU Online
Kesadaran untuk membuat jarak dari politik praktis sebenarnya sudah lama dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU). Tetapi, karena pergulatan politik identitas merupakan pengalaman yang lama sekali bagi NU, jarak itu menjadi tak mudah. Karenanya selalu ada tarikan supaya NU kembali menjadi basis dari konsolidasi politik untuk kekuasaan. 


Demikian dikatakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf dalam tayangan Satu Meja di Kompas TV, Kamis (3/11/2022).


Padahal, menurut Gus Yahya, menjadikan NU sebagai basis konsolidasi politik untuk merebut kekuasaan itu tidak adil bagi bangsa Indonesia ini. "Karena NU terlalu besar," ungkap Gus Yahya, sapaan akrabnya.


Alumnus Pesantren Krapyak, Yogyakarta itu mengungkap hasil survei, NU tak punya keanggotaan yang terdaftar. Orang jadi NU, sambungnya, tidak harus mendaftar, tetapi tergantung perasaan masing-masing. Menurut survei Alvara Institute tahun 2018, sebanyak 50, 5 persen dari seluruh populasi Muslim di Indonesia mengaku NU. Kemudian survei terbaru tahun 2022, meningkat, 59,2 persen mengaku NU.


Kalau NU diperbolehkan untuk menjadi basis konsolidasi politik, lanjut Gus Yahya, itu sama halnya kita mengizinkan orang NU menganggap yang bukan NU sebagai lawan. 


"Sama saja kita mengizinkan orang NU untuk mendominasi struktur politik di Indonesia, dan ini menurut saya tidak adil dan akan menghalangi peran NU sebagai penyangga keutuhan bangsa ini dan sebagai pendorong tumbuhnya nilai-nilai peradaban bersama," imbuhnya.


Untuk itulah, inisiator Forum R20 ini mengajak semua kalangan untuk mendorong suatu demokrasi yang lebih rasional, yang tidak didasarkan pada sentimen sentimen primordial dari kelompok-kelompok identitas, termasuk identitas NU.


"Karena kita harus berpikir tentang Indonesia, ini bukan hanya soal NU," tegas Gus Yahya.


"Maka, ya karena kita ini sudah membuat komitmen tentang negara bangsa yang berdasarkan Pancasila, UUD 45  bersedikan Bhinneka Tunggal Ika, kita harus, NU ini bertanggung jawab untuk memelihara supaya prinsip-prinsip negara bangsa ini tetap terjamin dan terjaga, karena NU ikut mendirikan. Jadi kalau NU membiarkan ini tidak terjaga namanya itu tidak bertanggung jawab," urainya panjang lebar.


Gus Yahya juga menjelaskan bahwa NU dulu pernah menjadi partai politik tahun 1952. Tahun 1955 NU bertarung sebagai partai politik sampai 1971. Setelah itu ada fusi partai dan tahun 1979 diputuskan untuk kembali ke khittah, yang artinya menarik diri dari politik praktis. 


Menurut putra salah satu pendiri PKB KH Cholil Bisri itu, kembali ke khittah sebetulnya sudah menjadi keputusan Muktamar NU Ke-26 tahun 1979 di Semarang. Kemudian Muktamar Ke-27 di Situbondo membuat rumusan tentang apa itu Khittah Nahdliyah. Selanjutnya pada Muktamar ke-28 tahun 1989 di Yogyakarta, dirumuskan pedoman politik untuk warga NU. 


Menurut Gus Yahya, kesadaran untuk menjaga jarak dari politik praktis ini sebenarnya didasarkan pada pemikiran yang sangat dalam tentang bagaimana NU harus berperan di dalam  pergulatan bangsa ini ke depan. 


Ia juga menegaskan bahwa warga NU merupakan potret dari seluruh masyarakat yang bermacam-macam, dari kiai, petani, pedagang, nelayan, dan lain sebagainya. "Nah, ini semuanya adalah warga warga yang harus dilayani dan kita harus menemukan cara bagaimana semua orang bisa dibantu untuk meningkatkan kualitas hidupnya," pungkas Gus Yahya.


Konributor: Ahmad Naufa
Editor: Kendi Setiawan