Nasional

Habib Ali Al-Jufri: Peri Kemanusiaan sebelum Religiusitas

Kam, 5 Desember 2019 | 06:30 WIB

Habib Ali Al-Jufri: Peri Kemanusiaan sebelum Religiusitas

Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri mengunjungi UIN Walisongo Semarang, Jawa Tengah, Rabu (4/12) (Foto: istimewa)

Semarang, NU Online
Pada Rabu (4/12), Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri mengunjungi UIN Walisongo Semarang, Jawa Tengah. Kunjungan dalam rangka ramah tamah dan bedah buku, berlangsung di Auditorium Kampus 1.
 
Dalam bedah bukunya yang berjudul Al-Insaniyah Qabla At-Tadayun, Habib Ali menjelaskan tentang peri kemanusian sebelum religiusitas. Peri kemanusiaan merupakan sifat-sifat alami dan natural pada manusia, yang Allah ciptakan menjadi fitrahnya. Sehingga, manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
 
Tetapi di zaman sekarang, orang-orang lebih mengenal istilah Humanisme dari pada peri kemanusiaan. “Sekarang kita dibingungkan antara peri kemanusiaan dan humanisme, humanisme adalah konsep filsafat," ucap Habib Ali.
 
Ia mengatakan, Islam mengenal tiga rukun agama, yaitu Islam, Ihsan, dan Iman. Ketiga hal tersebut merupakan ajaran tauhid, karena tauhid merupakan hal yang paling penting dalam beragama. Tetapi menurut Habib Ali, peri kemanusiaanlah yang harus didahulukan sebelum tauhid.
 
"Lakukanlah silaturahim, mencegah pertengkaran atau kekerasan, menjaga jalan (memberikan keamanan), dahulukanlah ketiga hal itu sebelum tauhid. Itu sama dengan yang dilakukan Nabi Muhammad ketika memulai dakwahnya, yaitu pertama menyambung silaturahim, lalu mencegah pertumpahan darah, mengamalkan ajaran-ajaranya, kemudian baru memerintahkan untuk menghancurkan berhala dan menyembah Allah yang Maha Esa," tuturnya.
  
Pada sesi tanya jawab seorang mahasiswi Fakultas Ushuluddin sekaligus santri Pesantren Darul Falah Besongo Semarang bernama Rasyida Rifa’ati, bertanya, "Bagaimana melawan atau menyadarkan seseorang yang menurut ajaran sebenarnya salah, tapi mereka (terorisme) menganggap mereka benar. Padahal dalam filsafat kita mengenal bahwa kebenaran adalah relativitas?"
 
Mendapat pertanyaan seperti itu Habib Ali Al-Jufri merasa senang dan bangga karena jarang sekali beliau mendapat pertanyaan sekritis ini.
 
"Kebenaran relatif adalah produk modernisme dan post modernisme, begitu pun tindakan terorisme juga merupakan produk dari modernisme dan post modrenisme. Ulama dan fuqaha menolak hal ini karena bertentangan dengan syariat, dan karena mereka memahami agama hanya secara tekstual. Mereka menganggap hal ini sebuah kebenarana, padahal jelas-jelas hal ini adalah suatu kebatilan. Mereka bukan hanya membunuh diri mereka sendiri tetapi juga orang disekitarnya yang tidak berdosa dan salah. Hal ini menyebabkan beberapa orang mengatakan kebenaran itu bersifat relatif atau nisbi. Padahal kebenaran itu bersifat baku," jawab Habib Ali.
 
Dalam kehidupan, seseorang sering menyempitkan suatu perkara yang luas, padahal setiap perkara itu luas dalam artian mudah untuk dilewati atau diselesaikan. Terorisme disebabkan oleh nafsu yang mengajak atau membelokkan seseorang kearah atau jalan kebenaran menuju jalan yang salah.
 
Demi usaha untuk mencapai perkara yang baik, membuat seseorang tidak mampu menerima perbedaan, padahal jelas bahwa pemahaman terhadap nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) bukan lah nash, maka dari itu ketika ada seseorang yang pemahamanya berbeda dengan nash bukan berati ia berbeda dengan nash.
 
"Lihatlah perbedaan antara empat imam mazhab, mereka mempunyai mazhab dan pandangan sendiri-sendiri dan itu adalah wujud perbedan mereka, namun tidak lantas membuat mereka bermusuhan, melainkan yang terjadi adalah keharmonisan dan mereka saling memuji atas perbedan itu," tuturnya.
 
Acara tersebut juga dihadiri oleh Habib Umar Muthohar, Gus Muwafiq, Gus Yasin, para habaib dan kiai, serta para santri dan mahasiswa.
 
Kontributor: Andre Wijaya
Editor: Kendi Setiawan