Nasional

Habib Husein: Budaya Indonesia Membangun Kedamaian

Sab, 27 Juli 2019 | 13:00 WIB

Habib Husein: Budaya Indonesia Membangun Kedamaian

Habib Husein Ja'far Hadar (pakai batik lengan panjang) saat mengisi Komunitas Musisi Mengaji (Komuji) di Jeruk Purut, Jakarta Selatan, Jumat (26/7).

Jakarta, NU Online
Dai muda Habib Husein Ja'far Hadar menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara yang penuh dengan keragaman ini terlampau damai. Menurut Habib Husein, suasana damai ini terjadi tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kebudayaannya.
 
"Kita hidup di Indonesia yang negeri terlampau damai, bukan damai, (melainkan) terlampau damai," kata Habib Husein saat mengisi Komunitas Musisi Mengaji (Komuji) di Jeruk Purut, Jakarta Selatan, Jumat (26/7).
 
Ia lantas mengemukakan praktik keseharian masyarakat Jawa misalnya, ketika kaki seseorang terinjak oleh kaki orang lain, ia tidak serta merta marah, tetapi justru meresponsnya dengan sopan.
 
"Orang Sunda, orang Jawa itu kalau diinjak kakinya masih (bicara dengan dengan halus) 'Nyuwun sewu, kaki saya keinjek'," katanya.
 
Respons berbeda akan terjadi kalau kasusnya di Arab Saudi. Kalau di Arab, katanya, ketika kaki seseorang terinjak maka yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata kasar.
 
"Kalau orang Arab kan terinjak (ngomong) 'Hai, mal'un (terkutuk) ente, himar, keledai'," ucapnya.
 
Menurut Habib Husein, kebudayaan di Indonesia yang memiliki karakteristik halus itu membuat masyarakatnya tidak mudah kemasukan ideologi yang keras. Adapun beberapa kekerasan atas nama agama itu terjadi karena faktor lain.
 
"Makanya di Indonesia ya walau pun mau didakwahkan seperti apa, yang namanya kekerasan tidak akan laku sebagai basis budaya Indonesia. Ajaran itu (kekerasan yang puncaknya terorisme) mau dijejalkan seperti apa tidak akan laku," jelasnya.
 
Menurutnya, mengamati berbagai hasil riset dari Wahid Foundation atau Setara Institute, rata-rata gerakan yang melakukan tindakan kekerasan atas nama agama, baik kekerasan berupa pikiran maupun tindakan memiliki penyandang dana untuk melancarkan agendanya. Karena itu, mereka, para agen kekerasan, aksi yang dilakukannya tidak natural.
 
Dalam rangka memudahkan tentang proses kontrol otak seseorang, ia menggambarkannya melalui film Hotel Mumbai. Film itu menceritakan bagaimana keberadaan headset yang tidak lepas dari telinga seorang teroris. Melalui headset itu, otak seseorang terus dikontrol atau didoktrin. Sebab, sambungnya, jika otaknya kembali normal, maka tidak akan mungkin mau malakukan aksi yang kejam, seperti pembunuhan.
 
"Kemudian 'keluargamu biar saya yang nanggung nanti'. Anda coba tonton Hotel Mumbai, (di film itu) tidak sedetik pun dia lepas itu headset. Jadi ada orang yang terus mengatakan 'saya akan kasih terus kamu duit, keluargamu aman. Kamu harus berjihad di jalan Allah', itu didoktrin, jadi tidak natural," katanya menggambarkan. (Husni Sahal/Kendi Setiawan)