Nasional

Habib Jindan Jelaskan Dakwah Tanpa Caci Maki

Rab, 30 Desember 2020 | 18:30 WIB

Habib Jindan Jelaskan Dakwah Tanpa Caci Maki

Habib Jindan bin Novel bin Salim. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Nabi Muhammad saw dalam berdakwah tidak pernah mencaci dan memaki orang atau kelompok manapun. Hatta pernah diminta untuk melaknat sekelompok kafir harbi (yang diperangi), pemimpin seluruh utusan itu enggan melakukannya.


Habib Jindan bin Novel bin Salim menjelaskan hal tersebut saat Refleksi Dakwah Tahun 2020 untuk Indnesia Aman dan Damai yang digelar Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) pada Rabu (30/12).


Hal demikian terus dilanjutkan oleh keturunannya. Sayidina Hasan, misalnya, dicaci seorang khatib di atas mimbarnya. Sikapnya diam tak bergeming, tetap dengan ketenangan dan senyumnya. Namun, ia geram manakala anaknya memintanya untuk menjawab cacian tersebut.


“Sejak kapan kamu dapati ayah dan leluhurmu tukang caci maki?” kata Habib Jindan mengutip pernyataan Sayidina Hasan kepada putranya.


Bahkan, sikapnya yang demikian pun mengundang pujian saat ia telah wafat dari orang-orang yang memakinya. Mereka menyebut Sayidina Hasan seperti gunung yang tetap tak berubah ketika dilempari batu.


Sayidina Ali Zaenal Abidin juga tidak mencaci orang-orang yang telah membunuh ayahnya, Sayidina Husein persis di depan matanya.


“Kita biasa dicaci maki. Tapi gak bakal kamu temukan dari kalangan ahlul bait yang tukang caci, yang tukang maki. Dimaki iya, tapi kita mencaci memaki gak ada. Dulu, tidak ada hal yang semacam ini,” terang Pimpinan Yayasan Al-Fachriyah, Tangerang, Banten itu.


Sikap demikian juga diteladankan kakeknya dari jalur ibu, Habib Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang. Suatu ketika, ia berdiri menyambut kedatangan tamu yang membencinya. Lebih dari itu, ia mempersilakan tamunya ceramah.


Tetapi, tamu tersebut memakinya di atas mimbar. Ibu Habib Jindan yang berada di dalam rumah menangis mendengar ayahnya dicaci. Namun, kakek Habib Jindan tersebut tidak balik mencaci, melainkan berterima kasih dan menyambutnya dengan baik.


“Ini metode dakwah yang kita saksikan dari guru-guru kita, dari ulama kita, dari para kiai kita dahulu seperti ini. Bersambung sanad ucapan mereka, sanad dakwah mereka,” jelasnya.


Habib Jindan juga menceritakan kisah Habib Umar bin Idrus al-Aidrus yang datang ke majelis di Masjid Jami Tarim dengan mengempit sandalnya. Ia pun permisi dan memohon maaf saat melewati preman yang tengah bermaksiat di jalan yang dilaluinya. Sikap demikian membuat mereka ikut ke majelis.


“Dalam beberapa keadaan, senyum tabligh. Diamnya kita, akhlaknya, memaafkannya kita itu penyampaian yang mewakili Rasulullah,” jelas Habib kelahiran Sukabumi, Jawa Barat 43 tahun yang lalu itu.


Lebih lanjut, Habib Jindan juga mengingatkan bahwa tugas pendakwah adalah mengajak semua orang kepada Allah, bukan menghakiminya. Sebab, ia bercerita pernah ada seorang yang telah membunuh 99 orang hendak bertaubat.


Saat menanyakan perihal penerimaan taubatnya dan potensinya masuk surga kepada seorang ustaz, ia malah dihakimi dengan menyebutnya tidak mungkin masuk surga, bahkan masuk neraka. Ustadz tersebut menjadi orang ke-100 yang dibunuhnya.


Lalu, keinginan untuk bertaubat pun terus bergejolak dan kembali menemui seorang ustadz untuk menanyakan hal serupa. Ia pun mendapatkan jawaban mencerahkan untuk pindah ke sebuah wilayah yang banyak dihuni orang-orang saleh.


Dalam berdakwah, Habib Novel menegaskan boleh menggunakan metode apa saja, asalkan dibolehkan syariat. Caci maki tentu saja menjadi bagian yang tidak termasuk ke dalamnya.

 

Untung, katanya, Indonesia mengenal Islam dari Wali Songo. Sebab, mereka mengambil sanad metode dakwah dari leluhurnya yang sampai ke Nabi.

 

“Nggak heran makanya dakwahnya santun, dakwahnya lembut,” pungkas cucu Habib Salim bin Jindan itu.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad