Nasional

Haramkah Kerja di Bank dan Diskon Ojek Online?

Sab, 28 September 2019 | 08:15 WIB

Haramkah Kerja di Bank dan Diskon Ojek Online?

Foto: NU Online/Ahdori

Jakarta, NU Online
Perkembangan perusahaan berbasis digital dan jasa keuangan masyarakat di Indonesia terus mengalami perkembangan. Di Indonesia, masyarakat mengenal bank sejak puluhan tahun lalu. Seiring dengan perkembangan zaman itulah bank kemudian banyak melayani berbagai jenis transaksi baik online maupun ofline. 

Pun demikian, perusahaan star-up di Indonesia kian marak. Alih-alih membantu masyarakat, pengusaha ojek online menyediakan berbagai jasa berbasis digital termasuk transaksi digital melalui fitur yang ditampilkan.

Merespon perkembangan perusahan yang mengambil keuntungan dari bunga dan saldo pengguna jasa tersebut, ada sejumlah ustadz di Indonesia mengharamkan usaha tersebut karena dinilai memakan uang riba.

Misalnya kerja di bank harus berhenti karena gaji dihasilkan dari bunga dan hukumnya haram. Selanjutnya, diskon yang disediakan oleh perusahaan ojek online juga haram karena masih masuk kategori riba karena konsumen dinilai menindas perusahaan dengan keuntungan sepihak.

Informasi ini kian marak di media sosial dan dipercaya sebagai bagian dari kebenaran oleh sebagian masyarakat terutama yang kerja di bank dan ojek online.

Menjawab kesalahpahaman masalah syariah tersebut, Praktisi Syariah, Mirza A Karim ikut memberikan penjelasan bagaimana sebenarnya kerja di Bank dan diskon transaksi ojek online, termasuk riba atau bukan. Jika benar riba, tentu menjadi sesuatu yang dilarang oleh Islam karena masuk kategori haram.

Mirza A Karim mengatakan soal bunga bank apakah riba atau bukan masih menjadi perdebatan, ada yang menyebut haram, mubah dan subhat. Sebagai umat, masyarakat tinggal memilih keyakinan mana yang akan dijadikan sebagai prinsip.

Namun, jika kasusnya adalah berhenti dari bank karena takut riba hal itu  menjadi salah jika keputusan itu semakin mempersulit dirinya sendiri. Sebab dalam Fiqih Islam disebutkan Dar'ul mafasid muqaddam ala jalbil mashalih. Artinya, menghindarkan kemadorotan harus lebih diutamakan daripada mencapai kemanfaatan.

"Apa mudorot yang harus dihilangkan? Kalau dia menghilangkan pekerjaan, lalu dia tidak dapat pekerjaan, maka dia madorot, madorot bagi dirinya, madorot bagi keluarganya," kata Mirza A Karim saat menjadi pembicara pada pengajian Komunitas Musisi Mengaji (Komuji) bertajuk “Picnikustik Bicara Riba” di Jakarta Selatan, Jumat (27/9) malam.

Kecuali, lanjut, Mirza, orang tersebut berhenti dari bank kemudian mendirikan perusahaan. Prinsip yang diyakini menjadi lebih tepat karena memberikan banyak manfaat. Intinya, jika prinsip yang diputuskan memunculkan kemadorotan, maka ia harus kembali menelaah dalil dalil lain sebab dalam Islam sudah sangat jelas keputusan yang diambil harus menghindari kemadorotan.

Selanjutnya, jika seseorang meyakini kerja di bank tidak riba, maka lebih baik tetap bertahan, termasuk yang meyakini bahwa gaji dari bank adalah syubhat maka cari yang dianggap lebih baik. Tapi jika belum menemukan yang lebih baik, jangan keluar karena akan memunculkan kemadorotan.

Sementara terkait dengan transaksi di Go-Pay yang dianggap haram karena riba harus diketahui terlebih dahulu perjanjiannya seperti apa. Tidak boleh langsung menyimpulkan bahwa itu haram Sebab, setelah pihaknya melakukan penelitian ternyata yang dilibatkan oleh perusahaan star-up tersebut tidak hanya pengguna layanan melainkan banyak pihak. 

"Siapa saja pihaknya? Misalnya saya dengan pihak perusahaan, perjanjiannya apa? dengan pengguna elektronik perjanjiannya seperti apa? Berapa persen ada perjanjiannya," ujarnya.

Dalam syariah, kata dia, yang diutamakan adalah esensinya. Jadi jika esensinya ternyata sama-sama menguntungkan dan sepakat, maka bukanlah riba seperti yang dituduhkan.

"Perusahaan itu juga telah datang ke Dewan Syariah Nasional untuk meminta masukan bagaimana fatwanya," katanya.

Sebelumnya, diberitakan bahwa menggunakan fitur Go-Pay dalam Go-Jek termasuk kategori riba dengan alasan adanya potongan harga dalam Go-Pay yang tidak didapatkan dengan cara pembayaran secara cash.

Mereka meyakini, secara kajian fiqih penyimpanan uang yang menjadi saldo dalam Go-Pay tergolong akad qard (hutang) pada pihak Go-Jek, sedangkan ketika pihak Go-Jek mengembalikan uang kepada konsumen melalui pemanfaatan jasa dalam aplikasi Go-Jek, harus bernilai sama dengan konsumen lain ketika mereka membayar atas jasa yang digunakan secara tunai.

Sedangkan realita yang terjadi, konsumen yang membayar via Go-Pay secara tunai nominal pembayaran cenderung berbeda.

Dalam aspek ini perlu pengkajian ulang karena riba qardlu hanya berlaku jika memang keuntungan pada pihak muqrid (deposit) disyaratkan dalam akad. Sedangkan dalam Go-Pay, secara spesifik tidak ada unsur pensyaratan ini.
 

Pewarta: Abdul Rohman Ahdori
Editor: Alhafiz Kurniawan