Nasional HARI SANTRI 2016

Hikayat Perang Sabil Aceh Mengandung Shalawat Nabi

Ahad, 9 Oktober 2016 | 02:03 WIB

Jakarta, NU Online 
Kitab-kitab kuning yang dikaji di pesantren selalu dimulai dengan bismillah, puja-puji bagi Allah SWT. Kemudian selalu menyertakan shalawat kepada sayyidina Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, pengikutnya, hingga akhir zaman. Struktur pembukaan tersebut, sama saja dalam kitab besar maupun kecil.

Dalam salah satu naskah “Hikayat Perang Sabil” yang membangkitkan semangat perang di Aceh kepada penjajah juga memiliki struktur yang sama. Dalam buku “Sastra Perang: Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil” karya Teuku Ibrahim Alfian mengutip salah satu naskah hikayat tersebut:

Alhamdulillah khaliqul asyya', dum perkara peuneu-jeued. Rabbi. 'Arasy keurusi syeuruga nuraka, langèt dönya bumi beurangri. Kömdian seulaweuet saleuem hulön, ateueh Junjóngan panghulèe Nabi. Ateueh waréh sahbat sajan, dum sikeulian Muhajir Anshari. 

AJhamdulillah khaliqul asyya', segala hal ciptaan Rabbi Arasy kursi surga neraka, semua langit dunia dan bumi Kemudian selawat salam hamba, kepada junjungan Penghulu Nabi Kepada waris bersama sahabat, termasuk sekalian Muhajir Anshari

Menurut Ketua PWNU Aceh Teungku Faisal Ali mengatakan, Aceh adalah daerah yang sangat hidup gema shalawat. 

“Sesudah shalat apa pun dan selesai kegiatan-kegiatan kalau tidak ada shalawat dianggap kurang sempurna karena fadhilah shalawat banyak sekali,” katanya ketika dihubung NU Online dari Jakarta, beberapa waktu lalu, ketika ditanya soal shalawat.  

Ia menjelaskan, hal itu tidak hanya terjadi di masyarakat, kegiatan resmi pemerintah Aceh “wajib” dimulai sesudah bacaan Al-Qur’an dengan Shalawat Badar. Sesudah itu baru lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Kebiasaan tersebut, menurutnya sejak islam masuk ke Aceh. “Dalam perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah ada yang disebut dengan "Hikayat Perang Sabil" yang isinya ada shalawat. Hikayat itu berisi motivasi untuk membangun semangat melawan penjajah yang dikarang salah seorang ulama Aceh yaitu Tengku Chik Pante Kulu. 

Ketika ditanya bagaimana sikap warga NU menghadapi orang yang membid'ahkan shalawat, ia menjawab, warga NU harus tahu argumen-argumen kebenaran shalawat dengan logika dan fakta Islam tempo dulu. (Abdullah Alawi)