Nasional RISET DIKTIS

Hukuman Adat bagi Pelaku Kawin Lari dalam Masyarakat Bima

Sel, 5 November 2019 | 22:00 WIB

Hukuman Adat bagi Pelaku Kawin Lari dalam Masyarakat Bima

Gerbang selamat datang Kabupaten Bima (Foto: Cropping video youtube)

Jika ada salah satu anggota keluarga yang melakukan kawin lari, semua keluarga akan dikenai sanksi sosial dan adat. Mereka tidak dilayani, ditegur sapa, tidak dihargai, dan tidak dihormati.
 
Demikian salah satu hasil penelitian berjudul Londho Iha (Kawin Lari) dalam Pernikahan Adat Suku Mbojo-Bima; Menelusuri Konsep Londho Iha (Kawin Lari) dalam Perspektif Masyarakat Nitu Kota Bima Nusa Tenggara Barat. Penelitian tersebut dilakukan oleh Masita dari Institut Agama Islam Muhammadiyah Bima pada tahun 2018. Subjek penelitan adalah 13 narasumber masyarakat Nitu Kota Bima dengan teknik wawancara.
 
Masita dalam laporannya menyebutkan londho iha (kawin lari) londo iha (kawin lari) merupakan perbuatan yang dilakukan oleh sepasang perempuan dan laki-laki yang buruk, karena membuat mereka tidak memiliki nilai atau harga di masyarakat. Artinya, status sosial mereka menjadi rendah pada masyarakat Nitu kebanyakan dilakukan oleh keluarga yang tidak menempuh pendidikan. Tetapi, bagi keluarga yang memiliki rata-rata tingkat pendidikan apalagi pendidikan tinggi, tidak akan mungkin melakukan londho iha (kawin lari) karena sudah pasti keluarga mereka akan dihukum secara adat, budaya, dan agama.

"Londho iha (kawin lari) pada masyarakat Nitu adalah benar-benar cara menikah yang sangat buruk. Londho iha (kawin lari) membuat harkat dan martabat perempuan menjadi rendah. Londho iha (kawin lari) tidak menjaga kehormatan kaum perempuan dan kaum perempuan terinjak dan londo iha (kawin lari) tidak menjaga kewibawaan kaum perempuan, londho iha (kawin lari) tidak menjaga martabat kaum perempuan padahal kaum perempuan sangat di hargai dan dijunjung tinggi di daerah ini sampai-saampai perempuan ditempatkan di atas taja (loteng) dari rumah panggung," tulis Masita dalam laporan tersebut.
 
Dalam penelitian yang didukung oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, peneliti juga mengungkapkan, ketika ada keluarga yang melakukan londho iha (kawin lari) maka semua masyarakat tidak akan ikut terlibat pada acara kegiatan akad nikah dan pesta pernikahan. Mereka hanya lewat saja jika bertetangga, atau menonton saja dari rumah mereka, meraka tidak akan ikut terlibat dalam hal ikut memasak untuk kegiatan acara tersebut. 

Selain itu, tamu dari keluarga yang laki-laki yang datang pun tidak akan dilayani dengan baik oleh keluarga perempuan bahkan air minum pun tidak diberikan apalagi melayani makanan, minuman serta melayani tempat duduk tamu yang datang. Meraka akan bilang, "Kan ini londho iha (kawin lari) maka kalau kawin lari berarati mau kawin cepat, jadi tidak ada makan, minum, tempat untuk duduk, semuanya benar-benar dalam keadaan rusak atau kawin dalam keadaan tidak bagus dan baik, maka akan sesegera mungkin dilakukan pernikahan dengan cara yang singkat, padat, dan jelas."

Hal ini seperti itu, sebut peneliti, diungkapkan oleh lebe (imam masjid) di kelurahan Nitu yang bernama H Ahmad H Talib sebagai berikut:

"Londho iha (kawin lari) pada masyarakat Nitu adalah benar-benar cara menikah yang sangat buruk, ketka ada keluarga yang melakukan londho iha (kawin lari) maka semua masyarakat tidak akan ikut terlibat pada acara kegiatan akad nikah dan pesta pernikahan. Mereka hanya lewat saja jika bertetangga, atau menonton saja dari rumah mereka, meraka tidak akan ikut terlibat dalam hal ikut memasak untuk kegiatan acara tersebut. Dan tamu dari keluarga yang laki-laki yang datang pun tidak akan dilayani dengan baik oleh keluarga perempuan bahkan air minumpun tidak diberikan apalagi melayani makanan, minuman serta melayani tempat duduk tamu yang datang. Mereka akan bilang kan ini londho iha (kawin lari) maka kalau kawin lari berarati mau kawin cepat, jadi tidak ada makan, minum, tempat untuk duduk, semuanya benar-benar dalam keadaan rusak atau kawin dalam keadaan tidak bagus dan baik, maka akan sesegera mungkin dilakukan pernikahan dengan cara yang singkat, padat dan jelas."
 
Narasumber juga menyebutkan, "Dengan adanya londho iha (kawin lari) maka itu secara tidak langsung merupakan hukuman sosial yang cukup tinggi di kampung ini. Karena anak-anak di kampung ini mulai dari kecil hingga dewasa dibekali dengan ilmu agama yang kuat seperti mereka diajarin ngaji aka guru ngajinya (belajar mengaji di ustadznya), diajarin sopan santu dari kecil seperti santabe (permisi jika lewat di depan orang), pengenalan ntau dou dan ntau ndai (milik sendiri dan orang lain, sehingga tahu mana yang halal dan mana yang haram), diajari hidup mori sama di kampora mporo (hidup bersama di tengah masyarakat), sampai pada perbuatan aina nae loko ulu (perbuatan zina), sehingga anak-anak sedini mungkin sudah dibekali dengan nggahi ra ruku ra rahi ma taho (tingkah laku dan perbuatan yang baik), sehingga ada rasa maja labo dahu (takut dan malu), dan akhirnya mengurangi  salah satu perbuatan tidak baik yakni londo iha (kawin lari) tersebut." 
 
 
Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Kendi Setiawan